MELINJO
Melinjo (Gnetum gnemon), adalah tanaman asli Asia
Tenggara, khususnya Indonesia. Habitat tumbuhan ini tersebar dari India sampai
ke Fiji. Tanaman ini bisa tumbuh mulai
dari dataran rendah sampai tinggi (0 sd. 1.200 m. dpl.) terutama di dataran rendah yang ketinggiannya tidak lebih dari 400 m dpl dan dengan curah hujan sekitar
3.000-5.000 mm/tahun merata sepanjang tahun. Bentuk tanaman berupa pohon setinggi 20 m. dan berbatang lurus. Tanaman kayu-kayuan ini banyak tumbuh di pekarangan.
Panen melinjo bibit cangkokan dapat dilakukan
setelah berumur 2 tahun, sedangkan pengembangan dari biji baru dapat dilakukan
panen setelah 6 tahun. Panen raya terjadi satu kali dalam setahun, biasanya
Mei-Juli, dan Oktober-Desember dapat dilakukan panenan kecil. Berbagai bagian
dari pohon melinjo dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Diantaranya, daun,
biji melinjo dan kulit biji melinjo sering dimanfaatkan sebagai bahan untuk
sayur. Selain itu, bijinya juga dapat diolah menjadi emping. Daun muda dan
bunga melinjo merupakan sayuran yang hampir dapat dipanen kapan saja ketika
terjadi tunas muda.
Menurut penuturan beberapa petani dari Godean
dan Mlati, tanaman melinjo umur 15 tahun yang terawat baik, hasil produksi
buahnya mencapai 50 kg klatak (buah yang telah dikupas kulitnya) sekali panen,
berarti produksi yang diperoleh klatak 100 kg/pohon/tahun. Dengan harga Rp
5.000,- per kg. maka dari satu pohon melinjo dpat diperoleh pendapatan Rp
250.000,- Kalau populasi tanaman dalam satu hektar 400 pohon (jarak tanam 5 X 5
m), maka hasil dari tiap hektar kebun melinjo adalah 20 ton melinjo senilai Rp
100.000.000,- Pendapatan ini masih akan bertambah kalau kita memanen daun muda
dan bunga jantannya karena tanaman melinjo memang ada yang berumah satu (bunga
jantan dan betina ada dalam satu pohon), ada juga yang berumah dua (bunga jantan
dan betina terpisah dalam dua pohon). Jenis melinjo unggul yang selama ini
banyak dikembangkan masyarakat secara komersial adalah melinjo yang bunga
jantan serta betinanya terpisah pada pohon yang berbeda.
Emping melinjo merupakan salah satu komoditi
pengolahan hasil pertanian yang memiliki nilai tinggi, baik karena harga jual
yang relatif tinggi maupun sebagai komoditi ekspor yang dapat mendatangkan
devisa. Daerah tujuan ekspor selama ini adalah Singapura, Malaysia dan Brunei.
Bahkan Jepang, Eropa dan Amerika merupakan pasar potensial yang perlu digarap
serius.
Kendala dalam pengembangan melinjo saat ini
adalah persepsi bahwa emping identik dengan asam urat sudah demikian merasuk
dan menyebar ke masrakarat luas. Hal ini perlu segera diluruskan dengan melibatkan
dokter atau dinas kesehatan.
Kendala utama pengembangan agroindustri
emping melinjo adalah kurangnya pasokan bahan baku. Namun kalau kita bicara
populasi tanaman melinjo terbanyak, justru ada di Lampung atau seluruh pulau
Sumatera. Dari pelabuhan penyeberangan Bakauhuni ke Merak, melinjo lampung ini
akan didistribusikan ke sentra-sentra emping yang tersebar di Jawa. Terutama ke
Menes dan Limpung.
Sentra industri emping di Menes memang cukup
besar. Ekspor ke Timur Tengah dan Eropa tersendat bukan karena kurangnya
permintaan, tetapi justru karena pasokan melinjo segar yang selalu tertinggal.
Para produsen dan padagang emping sendiri memang kurang begitu bergairah untuk
melayani permintaan ekspor. Sebab, “main di pasar lokal pun masih sangat
longgar, menguntungkan dan tidak repot.” Selain itu memang ada perbedaan jenis
emping antara pasar lokal dengan ekspor. Pasar lokal lebih menghendaki emping
tipis berukuran kecil (@ 2 – 3 biji melinjo). Sementara pasar ekspor
menginginkan emping setengah utuh yang hanya terdiri dari satu biji melinjo dan
dalam kondisi siap konsumsi.
Repotnya dalam melayani pasar ekspor memang
sangat beralasan. Eksportir dari Menes yang mengirim ke Timur Tengah dan Eropa,
sebenarnya masih dalam volume yang sangat kecil berupa emping tipis. Yang akan
mengkonsumsi emping demikian hanyalah bangsa kita sendiri yang sedang merantau
menjadi TKI atau para mahasiswa kita yang sedang belajar di Eropa sana.
Karenanya persyaratan standar mutu produk lalu menjadi kurang penting. Kalau
kita serius melayani permintaan emping setengah utuh tersebut, maka persyaratan
standar mutu produk (Codex) dan standar Sanitary serta Pythosanitary (SPS)
menjadi sangat penting. Adanya persyaratan yang ketat inilah antara lain yang
juga menjadi alasan keengganan pelaku emping kita untuk melakukan ekspor.
Kendala psikologis dari para penentu keijakan
(soal asam urat), kendala pasokan bahan mentah dan kendala persyaratan mutu
(teknik produksi emping) adalah tiga permasalahan yang telah menghambat
pertumbuhan agroindustri emping di Indonesia.
Sebenarnya komoditas melinjo memang layak
diunggulkan karena strategisnya. Setiap bangsa pasti memiliki komoditas
unggulan yang menjadi semacam “trade mark” bagi bangsa tersebut. Melinjo adalah
komoditas yang saat ini hanya berkembang baik di Indonesia. Tidak di India dan
Srilanka, tidak pula di negara Asean lainnya. Kalau kita menyia-nyiakannya,
bisa saja suatu ketika justru Vietnam yang diam-diam mengembangkannya lalu
tahu-tahu mereka sudah bisa memproduksi emping berkualitas tinggi untuk ekspor.
Kasus “tercurinya” komoditas unggulan ini tidak perlu terjadi di Indonesia.
Pada tingkat petani pengolah emping, seperti
ratusan masyarakat pengrajin emping melinjo di Dusun Jumeneng Cilik, Desa
Margomulyo, Kecamatan Seyegan misalnya; hasil wawancara semiterstruktur dan
pengalaman pendampingan Sanggar ANAK BUMI TANI menunjukkan bahwa selama ini
pengembangan volume produksi emping di tingkat pengrajin terhambat dengan tidak
menentunya pasokan klathak yang kadang ada kadang tidak ada pasokan. Selisih
harga yang tinggi antar wilayah dalam waktu yang sama, menjadikan posisi
klathak mudah berpindah lokasi karena hampir semua penebas mlinjo bukanlah
pengrajin emping sehingga mereka menjualnya pada pasar atau daerah dengan harga
beli tertinggi yang terjangkau. Ketika mereka mencoba membentuk kelompok
kooperatif untuk pengadaan bahan baku ternyata sering rugi karena biaya
operasional mencari lokasi panen mlinjo yang tinggi, upah buruh pemetik yang
terlalu tinggi ketika terjadi hujan dll, sehingga modal operasional menipis.
Kini banyak pengrajin emping yang hanya mengolah emping ketika ada pasokan
klathak dari pengepul. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh pembuat emping
dengan upah yang sudah jelas.
Dalam pemasaran, pengrajin emping mlinjo juga
diombang-ambingkan dengan harga pasaran yang tidak menentu. Kadang terjadi
harga jual emping yang rendah padahal pembelian klathaknya mahal. Tiadanya
standard mutu emping hasil produksi suatu komunitas menjadikan harga emping tak
dihargai pengepul dengan layak karena mutunya yang kurang baik.
Jadi, pertama-tama yang harus dilakukan
adalah memutus hambatan psikologis dari para penentu kebijakan sehingga walau
menderita sakit asam urat, bukan berarti penanaman melinjo harus dilarang dan
industri emping berhenti. Kedua, pengembangan areal malinjo secara
besar-besaran layak untuk dilakukan oleh Pemkab dan Pemprov. Pasar sejak dulu
sudah siap untuk menampungnya, hanya saja butuh kejelasan tentang siapa yang
memerlukan, berapa volumenya, berapa nomor teleponnya dan sebagainya. Pasar
dalam konteks ini adalah adanya peluang kebutuhan emping, tetapi siapa yang
akan menjadi importir masih perlu penggarapan yang akan makan waktu, biaya dan
juga tenaga. Yang disebut sebagai “pasar” di sini bukan sesuatu yang sudah
ready stock hingga kita tinggal telepon, kirim barang dan uang ditransfer.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong berdirinya koperasi pengrajin emping yang
tangguh dengan mengutamakan fasilitasi menejemen pengadaan bahan baku dan
pemasaran yang lebih baik. Keempat, perlu kiranya dibuat standard mutu emping
Kabupaten Sleman untuk mendongkrak pemasaran hasil produksi pengrajin.
Industri
emping melinjo adalah bisnis yang sangat padat karya. Mulai dari panen,
pengupasan kulit buah, proses pembuatan emping, pemasakan (oven) dan
pengemasan, semuanya memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat banyak.
Memang agroindustri ini juga memerlukan modal besar. Namun nilai investasi
tersebut relatif kecil jika dibanding dengan jumlah tenaga kerja yang akan
dapat diserap olehnya. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang masih sangat susah
dewasa ini, kiranya industri emping mlinjo potensial untuk menghidupkan
perekonomian rakyat, selain untuk prestise bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar