BURUH TANI PEREMPUAN YOGYAKARTA
MENCARI MITRA
Keberadaan buruh tani perempuan memang sangat fenomenal. Betapa
tidak, negara RI yang dalam silanya berisi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia ternyata hanya dapat menawarkan sedikit akses bagi kaum buruh tani
perempuan untuk mendapatkan informasi, ketrampilan, dana dan beberapa jaminan
sosial yang mereka butuhkan. Untukmengakses Dinas Pertanian-TPH saja sulit
kalau tidak menjadi anggota kelompok tani padahal mereka minim penguasaan lahan,
mengakses bagian perikanan juga sulit kalau tidak memiliki kelompok tani
perikanan, mau ngakses bagian kehutanan juga mensyaratkan adanya kelompok
petani hutan rakyat, mau mengakses BKSDA juga butuh adanya kelompok konservasi
alam dan sebagainya.
Nah, soalnya adalah sebagian besar dari mereka tak memiliki usaha tersebut apalagi menjadi kelompok. Trus bagaimana ?
Nah, soalnya adalah sebagian besar dari mereka tak memiliki usaha tersebut apalagi menjadi kelompok. Trus bagaimana ?
Kisaran umur buruh yang berada pada posisi antara 15 – 60 tahun
tersebut jelas memiliki kecenderungan variasi kebutuhan yang sangat tinggi dari
kebutuhan peningkatan ketrampilan bagi kaum mudanya hingga jaminan sosial bagi
yang sudah tua. Intinya adalah bagaimana buruh tani perempuan dapat memperoleh
penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa gagasan
mereka lontarkan, antara lain: membentuk kelompok buruh tani perempuan supaya
keberadaannya diakui dan pemerintah atau pihak lain mudah bekerjasama dengan
para buruh tani perempuan, mendorong pemerintah agar mau membeli hasil petani
dengan standard harga yang layak agar upah buruhnya juga layak, diadakan
kemitraan untuk mengembangkan usaha produktif sejak pelatihan teknologi dan
menejemen, proses produksi hingga pemasarannya dengan pendampingan yang memadai
dll.
Pekerjaan buruh tani adalah pekerjaan musiman mengikuti pola tanam
yang diterapkan oleh petani sehingga ada kala mereka dapat ‘mburuh’ dan ada
kala ‘paceklik/ tak ada buruhan’. Musim kemarau adalah masa sulit mendapat
kerja terutama pada kawasan lahan kering dan pertanian tadah hujan. Ketani
petani sulit menanam maka buruh juga akan sulit mendapat pekerjaan. Tetapi
uniknya, ada kalanya ketika petani kesulitan tetapi buruh tersebut justru
mendapat banyak kerja buruhan meskipun “pekerjaan tersebut tak begitu
diharapkan”, misalnya ketika di Moyudan terjadi serangan tikus yang mengakibatkan
petani harus tanam ulang. Pada keadaan itu buruh tani akan mendapat pekerjaan
buruh menanam tetapi mereka juga tidak dapat berharap akan pengupahan yang
layak. Bagaimanapun juga yang memberi pekerjaan adalah tetangganya sendiri yang
‘sedang terkena musibah’. Begitulah buruh dan petani saling menghidupi.
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY telah mulai
merintis upaya pemberdayaan buruh tani perempuan melalui riset dan beberapa
kali rapat koordinasi dengan melibatkan berbagai pihak, terutama buruh tani
perempuan itu sendiri. Memadukan
pendekatan partisipatoris dengan pendekatan dari atas memang butuh kesabaran
karena belum terbiasa. Dalam sebuah pertemuan koordinasi sempat terungkap
anggapan dari salah satu aparat desa yang hadir, bahwa karena BPPM yang
mengundang masyarakat untuk hadir dalam pertemuan, maka BPPM pasti yang akan
membiayai tindak lanjutnya dan sudah ada dananya. Biasanya dinas begitu,
katanya. Hal ini yang tidak perlu
terjadi agar para pihak dapat menemani buruh tani perempuan sesuai dengan
kapasitas masing-masing.
Nah, titik terang adanya upaya membangun kepedulian terhadap buruh
tani perempuan telah mulai tampak. Insya Allah kebutuhan buruh tani perempuan
segera dapat dipenuhi melalui kemitraan yang terbangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar