21/11/12

Yang Terpinggirkan dan Dilupakan


BURUH TANI PEREMPUAN YOGYAKARTA
MENCARI MITRA

Keberadaan buruh tani perempuan memang sangat fenomenal. Betapa tidak, negara RI yang dalam silanya berisi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ternyata hanya dapat menawarkan sedikit akses bagi kaum buruh tani perempuan untuk mendapatkan informasi, ketrampilan, dana dan beberapa jaminan sosial yang mereka butuhkan. Untukmengakses Dinas Pertanian-TPH saja sulit kalau tidak menjadi anggota kelompok tani padahal mereka minim penguasaan lahan, mengakses bagian perikanan juga sulit kalau tidak memiliki kelompok tani perikanan, mau ngakses bagian kehutanan juga mensyaratkan adanya kelompok petani hutan rakyat, mau mengakses BKSDA juga butuh adanya kelompok konservasi alam dan sebagainya. 

Nah, soalnya adalah sebagian besar dari mereka tak memiliki usaha tersebut apalagi menjadi kelompok. Trus bagaimana ?


Kisaran umur buruh yang berada pada posisi antara 15 – 60 tahun tersebut jelas memiliki kecenderungan variasi kebutuhan yang sangat tinggi dari kebutuhan peningkatan ketrampilan bagi kaum mudanya hingga jaminan sosial bagi yang sudah tua. Intinya adalah bagaimana buruh tani perempuan dapat memperoleh penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa gagasan mereka lontarkan, antara lain: membentuk kelompok buruh tani perempuan supaya keberadaannya diakui dan pemerintah atau pihak lain mudah bekerjasama dengan para buruh tani perempuan, mendorong pemerintah agar mau membeli hasil petani dengan standard harga yang layak agar upah buruhnya juga layak, diadakan kemitraan untuk mengembangkan usaha produktif sejak pelatihan teknologi dan menejemen, proses produksi hingga pemasarannya dengan pendampingan yang memadai dll.

Pekerjaan buruh tani adalah pekerjaan musiman mengikuti pola tanam yang diterapkan oleh petani sehingga ada kala mereka dapat ‘mburuh’ dan ada kala ‘paceklik/ tak ada buruhan’. Musim kemarau adalah masa sulit mendapat kerja terutama pada kawasan lahan kering dan pertanian tadah hujan. Ketani petani sulit menanam maka buruh juga akan sulit mendapat pekerjaan. Tetapi uniknya, ada kalanya ketika petani kesulitan tetapi buruh tersebut justru mendapat banyak kerja buruhan meskipun “pekerjaan tersebut tak begitu diharapkan”, misalnya ketika di Moyudan terjadi serangan tikus yang mengakibatkan petani harus tanam ulang. Pada keadaan itu buruh tani akan mendapat pekerjaan buruh menanam tetapi mereka juga tidak dapat berharap akan pengupahan yang layak. Bagaimanapun juga yang memberi pekerjaan adalah tetangganya sendiri yang ‘sedang terkena musibah’. Begitulah buruh dan petani saling menghidupi.

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY telah mulai merintis upaya pemberdayaan buruh tani perempuan melalui riset dan beberapa kali rapat koordinasi dengan melibatkan berbagai pihak, terutama buruh tani perempuan itu sendiri.  Memadukan pendekatan partisipatoris dengan pendekatan dari atas memang butuh kesabaran karena belum terbiasa. Dalam sebuah pertemuan koordinasi sempat terungkap anggapan dari salah satu aparat desa yang hadir, bahwa karena BPPM yang mengundang masyarakat untuk hadir dalam pertemuan, maka BPPM pasti yang akan membiayai tindak lanjutnya dan sudah ada dananya. Biasanya dinas begitu, katanya.  Hal ini yang tidak perlu terjadi agar para pihak dapat menemani buruh tani perempuan sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Nah, titik terang adanya upaya membangun kepedulian terhadap buruh tani perempuan telah mulai tampak. Insya Allah kebutuhan buruh tani perempuan segera dapat dipenuhi melalui kemitraan yang terbangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar