14/08/11

SERTIFIKAT ORGANIK - Perlukah?

Perdagangan bebas telah membuka ruang persaingan antar pihak. Dalam dunia perdagangan kita kenal istilah "fair trade"/ perdagangan yang adil dan "free trade"/ perdagangan bebas. Pertanyaan mendasarnya adalah :"Siapa yang akan diuntungkan dengan sistem-sistem perdagangan tersebut".
Yang jelas petani maupun konsumen produk pertanian adalah manusia yang didalam dirinya terdapat semangat jahiliah yang maunya menang sendiri, maupun semangat mengasihi yang cenderung tidak ingin merugikan salah satu pihak. Jadi, pertarungan yang paling mendasar terjadi didalam diri setiap orang ketika sedang bertransaksi atau berdagang.

Pagi ini saya ditengok mbak Lidya dan mbak Risky-teman dari Aliansi Organik Indonesia-PAMOR Indonesia  yang ditemani mas Imam dari Koperasi SAHANI sehingga saya dapat 'ngangsu kawruh' lagi tentang dunia tani organik. Bertani organik di masa lalu adalah cara hidup, organik masa kini lebih sebagai gaya hidup. Sementara itu diskusi-diskusi tentang organik yang melibatkan konsumen maupun produsen organik yang banyak mengemuka adalah 'cara berdagang'nya. Perangkat-perangkat perdagangan seperti sertifikat maupun standard perdagangan produk organik harus difahami sebagai perangkat dagangnya petani maupun konsumen sehingga kedua belah pihak harus sama-sama senang atau bersepakat atas perangkat dagang tersebut untuk membuat transaksi menjadi sah dan baik.

Bagaimana halnya kalau produsen sulit bertemu dengan konsumen? Disinilah fasilitator (pihak ketiga) berperan sebagai jembatan, dapat berupa individu, lembaga formal/ non formal maupun pemerintah.Mana yang paling 'memudahkan' transaktor untuk terjadi kesepakatan maka itulah yang dipakai. Bahaya yang mungkin muncul adalah bilamana fasilitator melupakan perannya sebagai jembatan melainkan berganti peran sebagai pembuat jembatan yang harus dibeli oleh produsen ataupun konsumen yang membebani biaya transaksi terlalu tinggi, dilembagakan dan menciptakan ketergantungan baru.pada diri produsen dan konsumen sehingga merasa tidak perlu lagi saling bertemu. Kalau hal ini sampai terjadi, maka layak dipertanyakan kembali keberadaan fasilitator tersebut dari sisi peran maupun fungsinya.

Kalau kita mau mempertanyakan tentang siapa yang paling mungkin berperan sebagai jembatan tersebut, sebenarnya pemerintah yang paling mungkin sebagaimana sistem Teikei di Jepang. Pemerintah melalui agensinya harus dapat mempertemukan kebutuhan produsen dan konsumen di dalam negerinya sendiri. Sedemikian banyaknya rakyat Indonesia butuh makanan yang bersih dan sehat merupangan konsumen produk dari petani. Jadi, sulit difahami kalau orientasi perdagangan produk organik dari pemerintah justru ekspor, apalagi impor.

Kiranya konsumen dan produsen produk organik perlu duduk bersama untuk merumuskan standard produksi hingga konsumsi yang menyenangkan kedua belah pihak dengan ataupun tanpa fasilitator dimana nilai-nilai luhur lebih diutamakan dibanding semangat memenangkan penentuan harga. Saling memahami adalah syaratnya, saling memberikan manfaat adalah tujuannya. Dengan demikian proses partisipatoris akan berjalan secara alamiah sebagaimana hukum alam berlaku. Siapa yang tidak adil akan tersingkir dan ditinggalkan. Pedoman sertifikasi maupun standardisasi yang ada selama ini merupakan masukan bagi petani ataupun konsumen agar semakin arif mempertimbangkan keberadaan multi pihak di sekitar mereka.

Insya Allah kita dingatkan selalu tentang peran dan fungsi kita dalam mengawal sebuah sistem perdagangan yang adil tersebut. Deal? .......deal.

1 komentar:

  1. Luarbiasa!! Saya senang membacanya. Saya setuju dengan cara pandang saudara tentang sertifikasi. Yang perlu dibenahi bukan sertifikatnya tapi pelakunya. Hehe. Deal! Deal!!

    BalasHapus