Berawal dari Lantai Tiga Belas
Setelah dua bulan diangkat sebagai
Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim berdialog dengan beberapa kawannya,
seperti Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan
Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah
gerakan dalam masyarakat. “Saya pengen bola salju lingkungan hidup bisa cepat
membesar,” kata Emil waktu itu (wawancara – pribadi). Bukan hanya itu
tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan,
karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum
populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar
persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan
solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola
salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.
Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung
secara informal dengan kawan-kawannya, bagi Emil Salim tidak ada pilihan lain,
kecuali minta bantuan kelompok-kelompok NGO dan pecinta alam. Harapan Emil
adalah agar kelompok NGO dan pecinta alam dapat membantu menyelesaikan pelbagai
persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan
dengan masyarakat. Sehingga pemerintah melalui lembaga ini bisa menyampaikan
programnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa
menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa disampaikan melalui NGO.
Keinginan Emil Salim yang begitu besar
membuat haru seorang kawannya yang saat itu menjadi Gubernur DKI, yaitu Tjokropranolo.
Hingga suatu siang Tjokropranolo menawarkan sebuah ruangan untuk melakukan
pertemuan kelompok NGO se-Indonesia. Gayung bersambut, tanpa pikir
panjang, Emil Salim langsung menerima tawaran Tjokropranolo untuk melakukan
pertemuan NGO seluruh Indonesia. Pertemuan tersebut dilakukan di Lantai
13, Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta), Jalan Merdeka Selatan. Tidak
dinyana sama sekali, pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga
yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama,
riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Disitulah Emil Salim
mengungkapkan semua keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan
bersama untuk mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa
masyarakat harus membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan.
Dalam pertemuan tersebut, Abdul Gafur
(saat itu Menteri Pemuda dan Olahraga), datang menjenguk. Kabarnya, ia ingin
mengetahui apa yang akan dilakukan kelompok NGO dan tanggapan kelompok ini
terhadap pemerintah. Agar pertemuan tersebut tidak sia-sia, mereka harus
mencari bagaimana memelihara komitmen bersama sekaligus mencari cara
berkomunikasi yang efektif di antara mereka. Menjelang acara usai, muncullah
kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program
pemerintah dalam bidang lingkungan hidup. Ke-sepuluh organisasi tersebut
kemudian disebut dengan Kelompok Sepuluh. Awalnya, kelompok ini akan dinamakan
dengan Sekretariat Bersama Kelompok Sepuluh. Namun, George Adji Tjondro menolak,
dengan alasan kalau sekretariat bersama, seperti underbownya Golkar.
Akhirnya, Goerge mengusulkan nama Kelompok Sepuluh. Dan dari lantai 13
itulah, lahir Kelompok 10 yang menjadi cikal bakal kelahiran WALHI.
Kelompok
Sepuluh, Cikal Bakal WALHI
Agar tidak ada persepsi bahwa
organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi
dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada
23 Mei 1978 di Balaikota. Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi,
tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan
hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya
kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota
kelompok ini adalah Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan
ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan Indonesia Hijau (YIH), dengan ketua Dr Fred
Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh Dedy Darnaedi,
Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo, Perhimpunan
Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman, Perhimpunan Pecinta
Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup Wartawan Iptek yang
diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs. Poernomo,
Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI) oleh George Adjidjondro,
dan Srutamandala (Sekolah Tinggi Publisistik).
Namun, dalam perjalanannya,
Srutamandala tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota organisasi, karena
kegiatannya bersifat individual, meskipun ada bentuk organisasinya.
Sehingga jumlahnya menjadi sembilan organisasi. Keanggotaan tersebut dirasakan
masih kurang dan harus ditambah dengan beberapa organisasi, sehingga lebih
mempunyai ‘power’ untuk melakukan kegiatan. Untuk itulah dilakukan penambahan
keanggotaan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup. Yang kemudian masuk
adalah Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam yang diketuai oleh Ny. Aziz Saleh,
Yayasan lembaga Konsumen Indonesia, yang diketuai oleh Zumrotin, Persatuan
Radio Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), Lembaga Penelitian Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LPES) yang diketuai oleh Ismed Hadad, Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI), dan Harian Sinar Harapan yang diwakili oleh Winarta
Adisoebrata. Meskipun keanggotaannya tidak lagi sepuluh organisasi, namun nama
Kelompok Sepuluh tetap dipertahankan untuk memberikan penghargaan kepada
sepuluh organisasi pendirinya.
Kelompok ini diketuai oleh Ir. Zein
Rachman (IALI), dengan Sekretaris I, yaitu Dedy Darnaedi (BSCc) dan Sekretaris
II, Bedjo Rahardjo (GRJS-Bulungan). Untuk menjalankan kegiatannya,
kelompok ini menempati sebuah ruangan di kantor PPLH, dengan tugas utama
menjadi jembatan antara pemerintah dengan LSM lainnya (Tanah Air, Oktober 1984
,No.43 Tahun IV, hal 6-8). Beberapa NGO ini menawarkan bantuan sukarela kepada
Emil Salim untuk membantu menjadi sukarelawan di kantor yang baru tersebut.
Pertengahan tahun 1980, tingkat
pencemaran Teluk Jakarta yang disiarkan pers mengejutkan banyak orang, termasuk
aktivis lingkungan. Kasus ini mendapatkan respon yang luar biasa dari
masyarakat, terlebih ketika hasil penelitian terhadap kematian beberapa orang
anak di Teluk Jakarta diindikasikan sama dengan kejadian di Minamata, Jepang,
meninggal karena Merkuri. Tidak hanya itu, di Jakarta juga dilaksanakan seminar
berkaitan dengan bahaya Merkuri/Hg dan pencemaran Teluk Jakarta dengan
mengundang Profesor Harada dari Jepang. Adalah Dr. Meizer, seorang dokter
yang melakukan pengamatan bersama kelompok sepuluh waktu itu. Kejadian tersebut
mendapatkan respon, di antaranya adalah Komisi X/DPR, Menteri Negara PPLH,
Pemda DKI, dan para dokter. Sebagai perbandingan, kasus kelompok
sepuluh ini mendapatkan undangan untuk melihat masyarakat korban di Minamata,
Jepang, dan setelah itu terus melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang
bahaya Merkuri/Hg.
Selain menangani Teluk Jakarta,
Kelompok Sepuluh juga melakukan kegiatan penelitian dan pendampingan masyarakat
di Dukuh Tapak, Semarang, yang airnya dicemari oleh limbah pabrik, sehingga
menyebabkan kesuburan tanah berkurang serta pengairan sawah yang rusak parah.
Namun, kehadiran kelompok Sepuluh dirasakan belum memenuhi keinginan kelompok
NGO untuk menjadi wadah kegiatan lingkungan serta masih perlunya wadah untuk
melakukan sosialisasi lingkungan di kalangan masyarakat. Kelompok Sepuluh
inilah yang kemudian membidani lahirnya Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup I
yang kemudian melahirkan Walhi.
Pertemuan
Oktober 1980, Lahirnya WALHI
Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan
kemungkinan pertemuan ornop yang lebih besar untuk menanggapi isu yang lebih
besar. Dari awal sudah disadari bahwa masalah lingkungan hidup itu
menyangkut hal-hal yang kompleks, sehingga beberapa ornop yang sudah mempunyai
program lingkungan hidup memutuskan untuk bertemu dalam satu forum nasional.
Dalam sebuah makan siang, Emil Salim, Soerjani, dan Erna Witoelar,
sepakat untuk mengikutkan forum pertemuan nasional LSM itu ke dalam Konferensi
Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang pertama di Jakarta.
Tidak hanya kelompok Sepuluh yang
tampak antusias mempersiapkan acara tersebut, namun juga beberapa departemen.
Tidak tanggung-tanggung, Emil Salim bahkan melaporkan rencana pertemuan
nasional tersebut kepada Soeharto. Dalam konferensi persnya, Emil mengatakan
bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk bertukar pikiran agar organisasi
kelompok ini dapat ikut aktif dalam pengembangan lingkungan di Indonesia. Di
pihak lain, PPLH, Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan
dan Energi, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dapat bekerjasama
sehingga kelompok organisasi ini menjadi semacam “jembatan” antara aparatur
Pemerintah dengan masyarakat dalam menangani masalah lingkungan hidup. Dengan
demikian, diharapkan ada “semacam jalan pintas” sehingga dalam waktu singkat
dapat “dirakyatkan” masalah lingkungan hidup (Kompas, 8 Oktober 1980,
halaman 1).
Pertemuan tersebut disponsori oleh
Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia/World Wirldlife
Fund yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX. Selain itu, juga muncul beberapa
nama yang memberikan dukunga, seperti Purnomo (Menteri PU), Soedjarwo (Menteri
Kehutanan), dan Emil Salim (Menteri LH). Mereka tidak hanya memberikan dukungan
immaterial, namun juga memberikan bantuan dana. Dari dana bantingan antar-kawan
tersebut, berhasil terkumpul sekitar sepuluh juta rupiah. Adalah Erna Witoelar
dan Nasihin Hasan yang saat itu mengambil uang dari WWF yang diserahkan oleh
Soedjarwo (Menhut sekaligus bendahara WWF).
Pertemuan berlangsung pada tanggal 13 -
15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi
Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia. Pertemuan tersebut diikuti oleh 130
orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi
masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi.
Tokoh yang dianggap menonjol saat itu antara lain George Junus Aditjondro
dari Bina Desa, MS Zulkarnaen dari Yayasan Mandiri Bandung, Satjipto
Wirosardjono dari PKBI, Rudy Badil dari Mapala UI, dan Zen Rahman dari IAI.
Dari kalangan PSL kampus tercatat nama Otto Soemarwoto, Hasan Poerbo,
Soeratno Partoatmodjo, Abu Dardak, dan lain-lain. Pertemuan tersebut
berlangsung alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam
dan aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh
berbeda, misalnya, dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan
lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.
Bahkan, untuk nama organisasi yang akan
menjadi wadah dari NGO yang mengikuti acara ini sempat deadlock. Kamis sore,
menjelang penutupan tetap belum diperoleh sebuah nama. Adalah Erna Witoelar,
salah seorang panitia yang tampak panik, mondar-mandir sambil sesekali menyeka
keringat dikening dan pipinya. Wajahnya tampak tegang, ia dan beberapa
panitia pencetus pertemuan tersebut, kebingungan. Lembaga NGO yang awalnya
tampak sepakat dengan tujuan ternyata kembali membawa nama lembaganya
masing-masing. Ada semacam ketakutan bahwa antarlembaga tersebut akan terjadi
saling mengkooptasi. Sesaat setelah masuk ruangan, Erna kembali keluar, kali
ini matanya merah, ia menangis. "Tidak...kita harus putuskan sekarang,
pertemuan ini harus menghasilkan sesuatu," katanya sambil
sesenggukan. Beberapa anggota kelompok sepuluh, seperti Zen Rahman, Nashihin
Hasan, mulai melakukan lobi kepada peserta yang saat itu sedang deadlock.
Goerge Adji Tjondro yang menjadi anggota Kelompok Sepuluh malah paling keras
dalam persoalan nama, alasannya adalah tidak mau seperti Golkar atau underbow
lembaga manapun. Oleh karena itu, pemilihan nama itu memakan waktu cukup
lama. Setelah deadlock, sidang dilanjutkan dengan break, saat itulah lobi tahap
kedua dilanjutkan, kali ini lobi difokuskan untuk mendekati kelompok muda yang
terdiri dari pecinta alam dan kelompok agama yang takut terkooptasi
ideologinya.
Menjelang Maghrib, Erna tergopoh-gopoh
keluar ruangan sidang. Ia menjelaskan bahwa sidang akan ditutup dua jam lagi,
sementara suasana sidang masih deadlock, karena belum ada kesepakatan soal nama
forum nasional yang menghimpun LSM Lingkungan Hidup. Pleno sidang berjalan alot
karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan aktivis
kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda misalnya
dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi
yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.
Dalam percakapan dipojok ruangan depan,
terjadi percakapan antara Erna dengan Zen Rachman dan Wicaksono Noeradi. Yang
penting bentuknya bukan federasi atau fusi “Mengapa tidak sekretariat bersama
yang dalam bahasa Inggrisnya: Coordinating Secretariat?” tanya saya. “Tidak
bisa,” jawab Erna. “Sebab mirip Sekber Golkar!”Saya katakan bahwa sebutan
“forum” lebih baik. Namun, Erna menjawab “Tidak cukup.” Saya menawarkan Forum
Komunikasi. Langsung dijawabnya, “Tidak mungkin, sebab mirip Forum Komunikasi
putra-putri purnawirawan ABRI dan putra-putri ABRI.” Setelah lama
termenung-menung, walaupun agak pesimis “Bagaimana kalau Wahana?” tanya saya.
“Apa artinya itu?” tanya Erna. “Artinya vehicle atau means.” (Wicaksono
Noeradi, Revolusi Berhenti di Hari Minggu, Gramedia: 1999).
Entah karena sudah mau penutupan atau
memang sepakat, Erna melesat masuk ke ruangan, dan kemudian duduk di depan
sidang. Ia menawarkan nama Wahana dengan penjelasan arti wahana – sehingga
namanya menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Nama ini dianggap
independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol, serta
mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing. Peserta mulai riuh
kembali. Saling tanya dan berceletuk tentang nama tersebut. George Adjitjondro
yang paling vokal soal nama mengacungkan jari dan menyatakan setuju dengan nama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Beberapa lembaga kemudian juga
mengacungkan jari tanda setuju. Ketika Erna menawarkan, bagaimana dengan nama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mayoritas menyatakan setuju.
Kamis malam, tanggal 15 Oktober 1980,
palu diketok, nama disepakati: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Suasana haru malam itu, ketika peserta bergandeng tangan sambil menyanyikan
lagu Indonesia Raya sebelum penutupan. Lilin ditiup oleh Erna sebagai
tanda bahwa acara telah usai. Deklarasi dilakukan bersamaan dengan penutupan
konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) seluruh Indonesia. Selain
memutuskan pembentukan Wahana Lingkungan Hidup dengan mengadakan musyawarah
periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium periode 1980
– 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir.
Erna Witoelar.
Ketakutan indoktrinasi pemerintah
ditandai dengan kesepakatan aktivis ornop untuk menetapkan tiga asas organisasi
non pemerintah (ornop) yang bergabung dengan Walhi, yaitu asas mandiri,
bekerjasama tanpa ikatan, dan bekerja nyata bersama dan untuk masyarakat.
(Tanah Air, Edisi No.1/November 1980, hal. 2). Selain itu, dalam
pertemuan tersebut, juga sudah muncul kesadaran bahwa intervensi
pemerintah dalam NGO mencerminkan iklim demokrasi yang ada di Indonesia. Untuk
itulah, dibutuhkan kepekaan untuk membaca persepsi masyarakat, agar program
yang dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.
Untuk itulah para aktivis LSM itu
mendeklarasikan Walhi dalam bentuk forum sebagai bentuk yang paling dapat
diterima saat itu, yaitu forum LSM lingkungan dengan sifat keanggotaan
yang egaliter dan longgar, dan berperan sebagai forum komunikasi. Untuk
memudahkan koordinator Walhi membentuk presidium yang dijalankan oleh seorang
sekretaris eksekutif. Tugas presidium pertama Walhi dalam masa dua tahun
kepengurusannya, terutama melakukan fungsi-fungsi kehumasan organisasi.
Hubungan dengan lembaga pemerintah dijelaskan sebagai hubungan yang tetap
dijaga jaraknya dan bersifat timbal balik. Dengan alasan tetap menjaga jarak,
para aktivis itu menyatakan tidak bergabung atau membantu Emil di kementrian
sebagai staf. Hanya Linus Simanjuntak dari YIH yang membantunya sebagai
sekretaris menteri karena ada kekosongan jabatan (Erna Witoelar, kom. pribadi).
Tanggal 18 Oktober, tiga hari setelah
deklarasi Walhi, para aktivis ini diundang ke istana (Bina Graha) oleh Presiden
Soerharto. Menurut Zen Rachman, dalam menanggapi hasil pertemuan ornop
tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa tidak semua pekerjaan kelestarian
lingkungan hidup dapat dikerjakan oleh pemerintah. Dengan adanya swadaya
masyarakat untuk penanggulangan lingkungan hidup, maka akan dapat dijalankan
lebih cepat usaha-usaha pelestarian yang sudah multak perlu. (Kompas, 20
Oktober 1980, halaman 12).
Masa
Pertumbuhan WALHI
Kelahiran Walhi sebagai sebuah
forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya
sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu
‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial
politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu
mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan Walhi di awal
kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan
Walhi ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para
artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama,
peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu
lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan
kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta
masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. (Refleksi
Umum 1980 –1992 dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992). Hal tersebut
terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan
pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu
lingkungan dengan para seniman, seperti Iwan Fals, Sam Bimbo, Ully Sigar
Rusady, dan lain-lain. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah
edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus,
dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai
perlombaan, misalnya, menggambar, menciptakan lagu, dan karya tulis
ilmiah.
Perlahan Walhi mendapatkan legitimasi
dari masyarakat dan pemerintah. Walhi mendapatkan legitimasinya sebagai
representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar
keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Menurut Koesnadi, Kelompok
Sepuluh dan Walhi sudah dimintakan pendapatnya sejak awal bahkan dalam
pembahasan RUU lingkungan hidup menjelang penyerahan draft final ke
sekretariat negara. Mereka bekerja tiga hari tiga malam bersama para akademisi
menyusun draft undang-undang di lantai 6 Gedung Kementerian Lingkungan.
Pembahasan RUU Lingkungan Hidup itu sudah dimulai tahun 1976, bersamaan
waktunya dengan permintaan pemerintah Amerika Serikat kepada USAID (US
Aid for International Development) agar mulai melengkapi laporannya dengan
analisa dampak lingkungan dari setiap proyek bantuan dan hibah mereka
(Envi. Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986).
Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga
swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan
Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982.
Masukan yang kemudian diadopsi dalam undang-undang tersebut adalah pasal
6 tentang peran serta masyarakat.
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar
dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps
Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah
itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam
negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih
dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan,
terutama yang bergabung dalam forum Walhi, karena dianggap steril
dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik
ulur. Meski tak bias dianggap bergandengan tangan, namun pelaksanaan PNLH II
Walhi di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI- Angkatan Darat di Bandung,
dianggap sebagai sebuah tali persahabatan antara pemerintah dan WALHI.
Wacana yang berkembang dari
beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran
bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan
keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat
hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak
mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan
keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap
kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak,
dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat (Erna
Witoelar, kom. Pribadi).
Untuk mendukung pembiayaan
program-progam lingkungan hidup, dibentuklah Yayasan Dana Mitra Lingkungan
(DML) tanggal 27 Oktober 1983. Pendirian DML dimulai dengan
pernyataan sikap oleh para pendirinya, seperti Soemitro Djojohadikusumo, Jakob
Oetama, Erna Witoelar, dan Haroen Al Rasjid.
Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun
1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming
yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada
tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari
400 LSM. Ketika Walhi melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III
tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam
Walhi. (Tanah Air, Edisi Khusus, April 1986 No.61 tahun VI) .
Pada periode 1986 – 1989 merupakan
periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini
diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan
masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk
mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.
Kampanye yang dilakukan WALHI tidak
hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga
media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan
isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri
di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Tahun
1984 Walhi dan penerbit Sinar Harapan menyelesaikan laporan Neraca Tanah Air
yang ditulis secara populer dan menyajikan kondisi lingkungan hidup secara komprehensif.
Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa
memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan. Dengan
dukungan beberapa wartawan senior, seperti Aristides Katoppo, dilakukan kursus
jurnalistik lingkungan hidup tingkat nasional. Bahkan, Walhi mulai
menerbitkan Warta Tanah Air.
Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an,
aktivis-aktivis WALHI tetap dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam
pembukaan PNLH III kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan
lebih halus, bahwa salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam Walhi
--dengan demikian eksistensi Walhi, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih
jabatan. Walaupun para aktivis tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi
mulai ada usaha untuk membuka orientasi baru gerakan LSM lingkungan,
antara lain keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan (Warta Tanah
Air......idem, hal. 7-8).
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI
membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat
luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat.
Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan
yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing)
dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui
apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan
dan demokratisasi di Indonesia (Emmy Hafild, wwc pribadi).
Mengawali tahun 2000, WALHI terus
bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan lingkungan. WALHI
melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak surut. Bukan
terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan konsistensi dan
arah gerakan yang jelas.
Advokasi: Mengubah Haluan, Menantang Pemerintah
Pertumbuhan organisasi membutuhkan
ruang hidup dan ruang gerak yang cukup. Pertumbuhan membawa konsekuensi
perkembangan dalam keragaman isu dan gerakan. Dalam mencapai tujuannya,
mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, langkah WALHI dengan
tidak kompromi terhadap berbagai perusak lingkungan tidak cukup, karena semua
itu ditentukan oleh berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Walhi
melakukan reposisi dan memutuskan masuk dalam advokasi, yaitu melakukan
perubahan kebijakan lingkungan hidup setelah PNLH III. Dengan pilihannya ini,
gerakan WALHI semakin nyata, bahwa ia bukan berada pada ‘garis luar’ namun
secara terus menerus memberikan masukan, kritik, atau melakukan protes keras
terhadap kebijakan pemerintah, baik yang sudah ada maupun yang sedang dibahas.
Sejalan dengan hal tersebut, sikap
kritis WALHI terus terasah melihat berbagai kebijakan dan eksploitasi
sumberdaya alam yang merugikan masyarakat. Kampanye terhadap dampak
pertambangan di PT. Freeport Indonesia mengawali langkah WALHI dalam hard
campign, di mana sikap tegas dan tidak kompromi terhadap perusak lingkungan
menjadi ciri khas WALHI selanjutnya.
Pada tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI
mulai mengkampanyekan tentang Reformasi Lingkungan Hidup fokus pada hal-hal
makro yang meliputi kebijakan lingkungan dan kelembagaan lingkungan. Kebijakan
tersebut dilandasi oleh pernyataan bahwa kebijakan lingkungan harus memenuhi
rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan bisa dinikmati oleh masyarakat.
Sedangkan dalam hal kelembagaan didasarkan pada kelembagaan yang dibangun dan
dikembangkan agar dapat menjalankan kebijakan tersebut.
Dalam melakukan advokasi, tidak jarang
WALHI harus ‘berhadapan’ dengan pemerintah atau perusahaan besar. Akhir
tahun 1988, ketika pertama kalinya forum ini menggugat pemerintah dan
memasukkan nama menteri lingkungan hidup dalam daftar para tergugat. Saat itu,
George Aditjondro dengan terburu-buru menyatakan bulan madu Emil Salim
dan LSM sudah berakhir. Emil Salim saat itu tidak berdaya karena Soeharto terlebih
B.J. Habibie juga memberikan ijin. Bulan Desember 1989, Walhi memutuskan
untuk menggugat enam pejabat negara karena mengijinkan pembangunan pabrik
pulp dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea. Kasus ini pertama
kalinya NGO melakukan legal standing. Ini merupakan catatan pembaharuan hukum
acara di Indonesia, karena sebelumnya Indonesia menganut “asas tiada gugatan
tanpa kepentingan hukum”. Saat itu, kepentingan hukum biasanya dikaitkan dengan
kepentingan kepemilikan atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat.
Dalam perkembangannya, setelah beberapa kali WALHI mengajukan gugatan, akhirnya
legal standing WALHI diterima di Pengadilan. Meskipun dari pengalaman beberapa
sidang di pengadilan, legal standing WALHI selalu saja diperdebatkan. Namun, dalam
perjalanannya, akhirnya legal standing LSM ini diakomodir dalam UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diartikan sebagai Hak Gugat
Organisasi Lingkungan.
Menurut Erna Witoelar, memang sempat
Sudomo (kala itu Pangkopkamtib) memanggil semua aktivis Walhi dan menasehati
mereka untuk mengurungkan saja niat mereka menggugat pemerintah. Bak seorang
peramal, menurut Soedomo, "Kita akan berhadapan di depan pengadilan tapi
kan kalian pasti kalah melawan pemerintah. Berapa sih uang yang kalian punya,
pemerintah akan dibela lawyer-lawyer hebat." (Erna Witoelar, kom. pribadi,
15/7/00) Emil Salim juga menyarankan Walhi untuk menghentikan saja proses
penuntutan itu. Tetapi, ia tetap menyerahkan keputusannya kepada Walhi jika
ingin meneruskannya. Walhi memang akhirnya kalah, tetapi klaim mereka
sebagai organisasi lingkungan hidup yang mewakili lingkungan (legal standing)
diterima oleh pengadilan. Inilah tonggak pertama LSM Indonesia diakui
melakukan legal standing. Selanjutnya hal tersebut menjadi tonggak sejarah
Walhi untuk legal standing untuk melawan pemerintah atau menggugat.
Tercatat ada delapan gugatan yang
dilakukan WALHI pada periode 1988 – 2000, yaitu menggugat Amdal PT. Inti
Indorayon Utama (1988), Dana Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport Indonesia,
(1995), Pencemaran air di Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh
PT. Kiani Kertas (1997), Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan
Lahan Gambut 1 Juta Hektar (1999), Hak Atas Informasi atas informasi yang
diberikan PT. Freeport (2000), Hak Penguasaan Hutan di Palu (2001),
Banjir di Sumatera Utara (2002). Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan,
hanya satu kasus yang dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi. Dalam putusannya,
Majelis hakim hanya mengabulkan gugatan WALHI sebagian dan mengakui bahwa PT
Freeport Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemenangan ini
menjadi catatan sejarah, bahwa lingkungan dapat dimenangkan meskipun harus
melewati perjalanan panjang. Hal ini sekaligus sebagai pembelajaran bagi
kelompok lingkungan bahwa banyak jalan untuk menegakkan lingkungan. Meskipun
disadari bahwa keputusan tersebut tampak masih ragu-ragu dan belum mencerminkan
keberpihakan pengadilan atas kepedulian yang dipersoalkan Walhi, yaitu PTFI
bertanggung jawab atas disinformasi yang dilakukannya.
Sejak UU Lingkungan diundangkan, kritik
aktivis LSM semakin tajam kepada Emil Salim. Perubahan istilah ornop
menjadi LSM dikritik Aditjondro sebagai usaha kooptasi pemerintah terhadap
ornop dan mengaburkan makna sesungguhnya dari organisasi non pemerintah (kom
pribadi, 28/7/00). Memakai istilah LSM, menurutnya, terutama akan memposisikan
para aktivis tidak mungkin bersikap oposan kepada pemerintah dan mengurangi
radikalismenya.
WALHI
dan Politik
Sejak melakukan advokasi, secara
langsung maupun tidak langsung, WALHI telah bersentuhan dengan masalah-masalah
struktural dan politik. Persoalan Lingkungan di Indonesia adalah persoalan
politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat
kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik.
(Emmy Hafild, wwc pribadi). Oleh karena itu, dalam perjalanannya, WALHI selalu
kritis dengan persoalan-persoalan politik.
Dalam pembukaan Anggaran Dasar 1996,
WALHI memandatkan bahwa untuk mencapai tujuan terciptanya keseimbangan antara
pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan, maka perlu menjadi bagian
dari gerakan demokratisasi. Hal ini merupakan kesadaran bahwa rintangan
terbesar dalam mencapai tujuan WALHI adalah sistem politik Indonesia yang
otoriter dengan keterlibatan militer yang sangat besar dan sangat kecil ruang
bagi gerakan politik dan demokratisasi. Pada April 1998, WALHI kemudian
merubah prioritas enam bulanan menjadi 70% politik dan 30% reguler (Emmy
Hafild, Laporan Tahunan 1998 – 1999).
Juli 1999, WALHI mendaftar sebagai
Utusan Golongan di MPR dengan tujuan agar isu lingkungan hidup dan pengelolaan
sumber daya alam menjadi isu sentral selain demokratisasi lainnya. Namun, hal
ini dibatalkan karena anggota WALHI yang hadir dalam Pertemuan Nasional
Lingkungan PNLH ke - VII di Banjarmasin tidak mengijinkan WALHI masuk dalam
parlemen. Mulai saat itulah, WALHI ‘dianggap’ telah terjun ke politik. Padahal,
sesungguhnya sejak tahun 1988, di mana WALHI mulai melakukan advokasi, secara
langsung maupun tidak langsung, WALHI selalu bersentuhan dengan persolan
lingkungan. Persoalan Lingkungan di Indonesia adalah Persoalan Politik. Inilah
kesimpulan WALHI. Karena semua kebobrokan lingkungan itu didasarkan
pada kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan politik.
Parahnya, tidak satupun partai politik yang mempunyai kepedulian pada politik.
Meskipun dalam pada saat kampanye, persoalan lingkungan menjadi agenda utama
beberapa partai politik.
Hasil Riset WALHI tahun 1999
menunjukkan bahwa 48 partai politik peserta Pemilu, hanya ada empat partai
politik yang menempatkan lingkungan sebagai agenda utama, yaitu PDI Perjuangan,
PAN, PK, dan PKB. Sayangnya, tidak satu partai pun yang merealisasikan agenda
tersebut, termasuk PDI Perjuangan, sebagai partai pemenang Pemilu.
Melihat kondisi itu, WALHI kemudian
terlibat dalam pendidikan pemilih. Hal ini sempat menjadi perdebatan, namun
langkah ini telah dilatarbelakangi oleh kesadaran mendalam atas proses
demokratisasi yang salah satunya disandarkan pada Pemilu. WALHI sadar bahwa
tidak satupun partai politik yang mempunyai kepedulian memadai pada
masalah-masalah lingkungan. Selain itu, WALHI juga sadar bahwa dalam berbagai konflik
lingkungan hidup terdapat kolaborasi antara kepentingan negara dan bisnis yang
sangat kuat. Hal ini berakibat masyarakat menjadi tersudut dan lemah.
Didasarkan hal tersebut, maka ada kewajiban untuk memperkuat posisi masyarakat
melalui informasi dan pengetahuan. Salah satu caranya adalah dengan voters
education (pendidikan bagi para pemilih), di mana masyarakat harus bisa secara
kritis menentukan pilihan politiknya yang pada akhirnya akan menentukan
bagaimana masalah-masalah lingkungan akan disikapi oleh para pengambil
keputusan. Sayangnya, program ini kurang berhasil, karena pada
kanyataannya, di basis-basis WALHI partai-partai status quo tetap memenangkan
pemilihan.
Pluralitas
WALHI
Sejak awal, terlihat bahwa keanggotaan
WALHI sangat beragam. Walhi terlahir bukan hanya dari ornop lingkungan saja,
namun juga dari kelompok HAM, konsumen, kelompok keagamaan, perempuan, pecinta
alam, jurnalis, kelompok masyarakat adat, dan anggota profesi lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa WALHI merupakan representasi dari keragaman elemen masyarakat
yang ada di Indonesia, yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Sehingga
wajar kalau ada sejumlah nama yang terlahir dari WALHI, misalnya Erna Witoelar,
Agus Purnomo, Hakim Garuda Nusantara, Ifdal Kasim, Goerge Adji Tjondro, Rudi
Badil, Wicaksono Noerhadi, Mas Achmad Santosa, Noersyahbani Kartja Sungkana,
MS. Zulkarnaen, Emmy Hafid, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang
yang mempunyai komitmen dan aktif di WALHI pada masanya dan sekarang
mengabdikan diri sesuai dengan pilihanya. Semua itu membuat WALHI kaya dengan
warna dan dinamika hingga saat ini.
Agus Purnomo (Direktur Eksekutif WALHI
tahun 1986 – 1989), mengungkapkan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang
lingkungan hidup tumbuh dalam 'keanekaragaman hayati` dengan aneka bentuk dan
ukuran, jenis serta kegunaan. Belajar dari konsep ekologi di hutan tropis,
keragaman, konflik internal, bahkan persaingan antar komunitas bukan
faktor yang memperlemah kehidupan di hutan. (Refleksi, Laporan Kegiatan 1996 –
1989).
Menjadi Gerakan Sosial
Dalam Pertemuan Nasional Lingkungan
Hidup ke VIII di Parapat, Sumatera Utara, akhir Juni yang lalu, diputuskan
bahwa WALHI harus melakukan pembenahan diri. Pembenahan itu didasarkan atas
kesadaran bahwa ke depan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan
kelestarian lingkungan dan sumber-sumber kehidupan itu sangat berat. Hal
tersebut dikarenakan semakin kukuhnya hegemoni paham liberalisme baru dengan
nama globalisasi. Dan yang kedua adalah semakin menguatnya dukungan dan pemihakan
kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap kepentingan ekonomi global.
Dua hal itu menjadi landasan langkah
WALHI di masa depan, yang semakin disadari tidak mungkin dapat dilaksanakan
sendiri oleh WALHI tanpa dukungan luas dari publik. Untuk itulah, dengan
kesadaran penuh WALHI membuka diri untuk seluruh masyarakat untuk bersama-sama
terlibat dalam proses penyelamatan lingkungan. WALHI membuka seluas-luasnya
partisipasi masyarakat untuk berperan aktif, baik dengan menjadi anggota WALHI
maupun dengan menjadi donatur terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan
lingkungan.
Dengan hal ini, jelas bahwa WALHI bukan
hanya oleh dan untuk kelompok lingkungan, namun WALHI menjadi milik public, dimana
publik secara bersama-sama membangun kekuatan untuk melawan ancaman yang tidak
hanya datang dari dalam namun juga ancaman yang datangnya dari luar.
Kepemimpinan WALHI Nasional
Periode 2008-2012
Direktur Eksekutif:
Berry Nahdian Forqan
Dewan Nasional:
·
Yani Sagaroa
·
Feri Irawan
·
Khalisah Khalid
·
M. Irsyad Thamrin
·
Ririn Sefsani
·
Yusuf Tallamma
·
Nordin
Periode 2006 - 2009
Direktur Eksekutif:
Chalid Muhammad
Deputi Direktur: M. Ridha Saleh, Farah Sofa
Deputi Direktur: M. Ridha Saleh, Farah Sofa
Dewan Nasional:
·
Syafrudin Ngulma
·
Nurcholish
·
Ramadhana Lubis
·
Safarudin Siregar
·
Johnson Panjaitan
·
Nico Andasputra
Periode 2002- 2005
Direktur Eksekutif:
Longgena Ginting
Deputi Direktur: Ridha Saleh
Deputi Direktur: Ridha Saleh
Dewan Nasional:
·
Aristan
·
Johnson Sotarduga
Panjaitan, SH.
·
Andreas Subiyono
·
Wiwik Awiati
·
Nico Andasputra
·
Nurcholis, SH.
·
Effendi Panjaitan, SE.
Periode 1999 – 2001
Direktur Eksekutif:
Nurul Almy Hafild
Deputi Direktur: Suwiryo Ismail
Deputi Direktur: Suwiryo Ismail
Dewan Nasional:
·
Dwiyanto Prihartono
·
Chairil Syah
·
Ned Purba
·
Arief Zayyin
·
Dwiyanto Prihartono
·
Eduardus Sareng
·
Koesbianto
·
Andreas
Periode 1996 – 1999
Direktur Eksekutif:
Nurul Almy Hafild
Deputi Direktur: Arimbi Heroeputri, Iman Maspardi
Deputi Direktur: Arimbi Heroeputri, Iman Maspardi
Dewan Nasional:
·
Nursyahbani Kacasungkana
·
Rohadji Trie
·
Chairil Syah
·
Dedi Mawardi
·
Suwiryo Ismail
Periode 1993 – 1996
Direktur Eksekutif:
Muhamad Sifaudin Zulkarnaen
Deputi Direktur: Deddy
Triawan, Zukri Saad
Dewan Nasional:
·
Mas Achmad Santoso
·
Indro Sugianto
·
Rohadjie Trie
·
Nur Ismanto
·
Alamsyah Hamdani
·
Kusworo
·
Gunawan Wibisono
Periode 1989 – 1992
Ketua Presidium: Abdul
Hakim Garuda Nusantara
Direktur Eksekutif: Muhamad Sifaudin Zulkarnen
Deputi Direktur: Alex Yusutardi
Direktur Eksekutif: Muhamad Sifaudin Zulkarnen
Deputi Direktur: Alex Yusutardi
Periode 1986 – 1989
Ketua Presidium:
·
Abdul Hakim Garuda
Nusantara
·
Ir. Erna Witoelar
·
MS. Zulkarnaen
·
M. Gunawan Alif
·
Abbas Muin
·
Nashihin Muin
·
Soetjipto Wirosardjono
·
Iin Hasyim
·
Rizal Malik
Direktur Eksekutif:
Agus Purnomo
Periode 1983 – 1986
·
Ketua Presidium:
Nashihin Hasan
·
Waka Presidium: Ir.
Anton Soedjarwo
·
Sekretaris: Ir. Erna
Witoelar
·
Wakil Sekretaris:
Tatyana Kodhyat
·
Bendahara: Wagiono
Ismangil
Periode 1980 – 1983
·
Ketua Presidium: Zen
Rachman
·
Sekretaris Eksekutif:
Ir. Erna Witoelar
Daftar Referensi
·
Emmy Hafild, wawancara
dan pembicaraan antara Hening Parlan dan IIG. Maha Adi pada tahun periode 1999
– 2001
·
Erna Witoelar, wawancara
oleh IIG Maha Adi, Juni 2000
·
Emil Salim, wawancara
oleh Hening Parlan dan IIG Maha Adi, Juni 2000
·
Agus Purnomo, wawancara
oleh Hening Parlan, Mei 2000
·
MS. Zulkarnaen,
wawancara melalui telepon oleh Hening Parlan, Oktober 2000
·
Mas Ahmad Santosa,
wawancara melalui telepon oleh Hening Parlan, September 2000
·
George Adji Tjondro,
wawacara oleh Hening Parlan dan IIG Maha Adi, masing-masing melalui
telepon pada bulan September dan Desember 2000
·
Suraya Afif, wawancara
oleh Hening Parlan, Oktober 2000
·
Zen Rahman, wawancara
oleh Hening Parlan, 2000
·
Ari Suseta, wawancara
oleh Hening Parlan, 2000
·
Wicaksono Nooradi,
wawancara oleh Hening Parlan, 2000
·
Bedjo Rahardjo, wawancara
oleh Hening Parlan, 2001
Dokumen dan media
·
Tanah Air, Oktober 1984
, No.43 Tahun IV, hal 6-8
·
Refleksi, Laporan
Kegiatan 1996 – 1989.
·
Laporan Riset WALHI atas
Partai Politik, 1999
·
Anggaran Dasar WALHI,
1996
·
Tanah Air, Edisi Khusus,
April 1986 No.61 tahun VI
·
Neraca Tanah Air, 1984
·
Environment
Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986
·
Refleksi Umum 1980 –1992
dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992
·
Kompas, 20 Oktober 1980,
halaman 12
·
Tanah Air, Edisi
No.1/November 1980, hal. 2
·
Wicaksono Noeradi,
Revolusi Berhenti di Hari Minggu, Gramedia, 1999.
·
Kompas, 8 Oktober
1980 halaman 1
·
Tanah Air, Oktober 1984
,No. 43 Tahun IV, hal 6-8
·
Laporan WALHI, 1996
·
Laporan Pertemuan
Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat, 1986 - 1989
·
Laporan Kegiatan WALHI
Periode 1989 - 1992
·
Laporan Tahunan WALHI,
1996 - 1997
·
Laporan Tahunan WALHI,
1998 – 1999
·
Laporan Tahunan WALHI,
2000
·
Notulensi PNLH VII
WALHI, 1999
·
Notulensi PNLH WALHI
VIII, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar