03/05/12

TENTANG WALHI JOGJAKARTA


Berangkat dari kesamaan visi misi yang diemban, serta didorong oleh keprihatinan terhadap persoalan lingkungan hidup yang senantiasa diabaikan dalam berbagai pertimbangan kebijakan pembangunan, mengilhami beberapa aktivis lingkungan hidup untuk membentuk sebuah forum yang dapat mempersatukan perjuangan gerakan lingkungan hidup di Jogjakarta.

 Awalnya, pada  tanggal 19 September 1986 diadakan dialog mengenai lingkungan hidup. Saat dialog itu disadari bahwa ada kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah forum gerakan lingkungan di Jogjakarta yang dapat menampung aspirasi perjuangan, mempermudah koordinasi dan berbagi informasi guna pelestarian lingkungan hidup.
Menurut Budi Wahyuni, kesadaran para aktivitis lingkungan hidup di Jogjakarta, berkembang bersama dengan diresponnya kebutuhan akan keberadaan forum daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Sekertariat Nasional Jakarta. Tahun 1986, untuk pertama kali Sri Kusniyanti ditunjuk menjadi penanggungjawab untuk region Jogjakarta-Jawa Tengah. Tahun 1989, Budi Wahyuni menggantikan Sri Kusniyanti. Kali ini Budi Wahyuni tidak bekerja sendiri, karena ada kelompok kerja daerah yang dibentuk untuk membantu koordinasi dan kerja-kerja advokasi lingkungan yang dikerjakan di sekertariat nasional WALHI.  Forum daerah Walhi Jogjakarta baru terbentuk pada tahun 1992, dengan Nur Ismanto, Nur Hidayat dan Budi Wahyuni sebagai presidium forum tersebut untuk pertama kalinya.
Terkait perubahan struktur kepengurusan dari presidium ke eksekutif daerah, Bima Widjajaputra menguraikan bahwa hal ini didasarkan pada perubahan yang tertuang dalam statuta WALHI nasional.  Uniknya, menurut Bima, disamping berpedoman pada statuta WALHI nasional, di dalam kinerja WALHI Jogjakarta juga ikut diinisiasi tersusunnya statuta lokal, untuk memberikan landasan prinsipil bagi kekhasan proses belajar dan dinamika berorganisasi di Jogjakarta yang berbeda dengan dinamika yang diatur dalam statuta nasional.
Seiring dengan berjalannya waktu, kesadaran bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab bersama, maka dalam keorganisasian WALHI muncul pemikiran baru untuk melibatkan masyarakat luas dalam gerakan advokasi lingkungan yang selama ini dilakukan.  Melibatkan masyarakat luas berarti pula merubah image eksklusif WALHI menjadi lebih cair sebagai organisasi publik. Momentum inilah yang kemudian mendorong didirikannya Sahabat Lingkungan (Shalink) pada tanggal 3 Desember 2004 sebagai wadah individu dari berbagai spesifikasi keilmuan, profesi dan golongan untuk melakukan kegiatan penyadaran dan penyelamatan lingkungan.

 Saat ini dengan format eksekutif daerah, kepengurusan WALHI Jogjakarta periode 2005-2008 didukung oleh bidang kerja investigasi dan respon isue, data base, kampanye dan penggalangan sumber daya, serta administrasi dan keuangan. WALHI Jogjakarta bekerja melakukan advokasi lingkungan hidup terhadap kebijakan pemerintah terkait tambang, energi, hutan, tata ruang, lingkungan perkotaan, ketahanan pangan, agraria, sumber daya air dan pengelolaan bencana.   Advokasi ini disatu sisi sasarannya, adalah pembuat kebijakan, pemilik modal dan kelompok-kelompok lain yang berpotensi merusak lingkungan hidup, serta masyarakat luas disisi lain guna mendorong terbangun partisipasi dan daulat publik dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan


Visi
Mendorong masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan sebagai sumber-sumber kehidupan

Misi
Adanya Gerakan Sosial Lingkungan dari Seluruh Komponen Masyarakat yang Aktif dan Memperjuangkan Hak-haknya dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Lingkungannya Secara Berkelanjutan Melalui Organisasi Rakyat yang Independen

Goal Tahun 2008
Adanya gerakan sosial Lingkungan dari seluruh komponen masyarakat yang aktif dan memperjuangkan hak-haknya dalam pengelolaan sumber daya alam di lingkungannya secara berkelanjutan melalui organisasi rakyat yang independen.

Goal Tahun 2010
1. WALHI menjadi Lembaga Publik yang Transparan dan Akuntabel
2. WALHI menjadi Lembaga yang Mandiri

Dengan dukungan 33 lembaga partisipan yang terdiri dari 23 lembaga swadaya masyarakat dan 10 kelompok pencinta alam, WALHI Jogjakarta berkerja pada beberapa kawasan sebagai berikut :
*       
Kawasan Merapi
 Gunung Merapi yang mempunyai ketinggian 3100 mdpl, sekaligus merupakan salah satu gunung berapi teraktif didunia. Gunung Merapi hingga saat ini masih kental dengan keanekaragaman hayati, budaya serta kearifan lokal masyarakatnya.
Advokasi WALHI Jogjakarta di kawasan ini meliputi keseluruhan wilayah kawasan Merapi yang terletak  Kabupaten Sleman di Propinsi DI Jogjakarta dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta salah satunya adalah penolakan penetapan kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional melalui SK Menhut No. 134 tahun 2004. Walhi Jogjakarta Secara aktif bersama dengan anggota melakukan aksi dan advokasi penolakan penetapan kawasan Merapi sebagai Taman Nasional. Dalam pandangan WALHI dan masyarakat Merapi, penetapan TNGM adalah wujud otoritarianisme pusat (Menteri Kehutanan) terhadap masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah sekaligus sebuah pengingkaran atas kearifan lokal masyarakat yang selama ini, secara turun-temurun telah melestarikan hutan di kawasan gunung Merapi, sehingga tidak pilihan lain terkecuali menolak penetapan TNGM tersebut
Selain penolakan TNGM, advokasi yang juga dilakukan terkait mitigasi bencana erupsi Merapi dan penegakan hak-hak pengungsi, penolakan Raperda pertambangan Kabupaten Magelang, penolakan privatisasi air dan pembangunan DAM atas beberapa aliran sungai di kawasan Merapi.
*       
Kawasan Menoreh
 Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kawasan Menoreh  adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup, diantaranya adalah manusia. Sebagai kawasan karst, selain rentan terhadap bencana longsor, wilayah ini juga merupakan wilayah penyangga benda cagar budaya yang terletak disekitar kawasan Menoreh, salah satunya adalah Candi Borobudur.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta di kawasan ini adalah Penolakan Pertambangan marmer oleh PT. Margola di dusun Selorejo Desa Ngargoretno, sekaligus penolakan Raperda pertambangan yang rencananya akan menetapkan kawasan ini sebagai kawasan tambang di Kabupaten Magelang. Penggusuran pemukiman penduduk ke wilayah rawan longsor, monopoli dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup dari pertanian menjadi buruh, pengangguran, hilangnya kawasan penyangga, merupakan alasan mendasar bagi WALHI Jogjakarta untuk melakukan advokasi dikawasan ini. Secara aktif WALHI Jogjakarta juga mendorong penegakan hak-hak masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya melalui pendidikan hukum kritis serta pendampingan disektor peternakan, pertanian dan perkebunan.
*      
Kawasan Perkotaan
 Kota sebagai pusat pemerintahan dengan aktifitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan daerah dengan perubahan ekologi yang sangat cepat. Permasalahan yang ada merupakan akibat dari aktifitas masyarakat yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana pengelolaan lingkungan kota yang berkelanjutan.
Permasalahan  lingkungan hidup di perkotaan Jogjakarta yang ada bermacam - macam, diantaranya masalah AMDAL, Tata Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi. Advokasi yang aktif dilakukan WALHI di kawasan ini adalah mendorong agar dokumen Amdal dan tata ruang dijadikan sebagai dokumen perlindungan kawasan-kawasan kota, mendorong pemerintah dan stake holder untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan kebersihan khususnya sampah dari budaya mengumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA ke pengelolaan sampah organik dan non organik.  Advokasi juga dilakukan dalam penanganan limbah cair dan penataan sistem transportasi.
*
Kawasan Pesisir  Selatan
 Kawasan pantai selatan merupakan daerah karst dan gumuk pasir yang tersebar di 3 kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, meliputi Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo.
Advokasi di kawasan ini aktif dilakukan Walhi Jogjakarta berkaitan dengan penolakan rencana pembangunan Jalur Lintas Selatan, penolakan pengelolaan pasir biji besi, mitigasi bencana gempa dan tsunami, serta pengembangan pariwisata berbasis masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar