Berangkat dari kesamaan visi misi yang
diemban, serta didorong oleh keprihatinan terhadap persoalan lingkungan hidup
yang senantiasa diabaikan dalam berbagai pertimbangan kebijakan pembangunan,
mengilhami beberapa aktivis lingkungan hidup untuk membentuk sebuah forum yang
dapat mempersatukan perjuangan gerakan lingkungan hidup di Jogjakarta.
Awalnya, pada tanggal 19
September 1986 diadakan dialog mengenai lingkungan hidup. Saat dialog itu
disadari bahwa ada kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah forum gerakan
lingkungan di Jogjakarta yang dapat menampung aspirasi perjuangan, mempermudah
koordinasi dan berbagi informasi guna pelestarian lingkungan hidup.
Menurut Budi Wahyuni, kesadaran para
aktivitis lingkungan hidup di Jogjakarta, berkembang bersama dengan diresponnya
kebutuhan akan keberadaan forum daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) di Sekertariat Nasional Jakarta. Tahun 1986, untuk pertama kali Sri
Kusniyanti ditunjuk menjadi penanggungjawab untuk region Jogjakarta-Jawa
Tengah. Tahun 1989, Budi Wahyuni menggantikan Sri Kusniyanti. Kali ini Budi
Wahyuni tidak bekerja sendiri, karena ada kelompok kerja daerah yang dibentuk
untuk membantu koordinasi dan kerja-kerja advokasi lingkungan yang dikerjakan
di sekertariat nasional WALHI. Forum daerah Walhi Jogjakarta baru
terbentuk pada tahun 1992, dengan Nur Ismanto, Nur Hidayat dan Budi Wahyuni
sebagai presidium forum tersebut untuk pertama kalinya.
Terkait perubahan struktur kepengurusan dari
presidium ke eksekutif daerah, Bima Widjajaputra menguraikan bahwa hal ini
didasarkan pada perubahan yang tertuang dalam statuta WALHI nasional. Uniknya,
menurut Bima, disamping berpedoman pada statuta WALHI nasional, di dalam
kinerja WALHI Jogjakarta juga ikut diinisiasi tersusunnya statuta lokal, untuk
memberikan landasan prinsipil bagi kekhasan proses belajar dan dinamika
berorganisasi di Jogjakarta yang berbeda dengan dinamika yang diatur dalam
statuta nasional.
Seiring dengan
berjalannya waktu, kesadaran bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan tanggung
jawab bersama, maka dalam keorganisasian WALHI muncul pemikiran baru untuk
melibatkan masyarakat luas dalam gerakan advokasi lingkungan yang selama ini
dilakukan. Melibatkan masyarakat luas berarti pula merubah image
eksklusif WALHI menjadi lebih cair sebagai organisasi publik. Momentum inilah
yang kemudian mendorong didirikannya Sahabat Lingkungan (Shalink) pada tanggal
3 Desember 2004 sebagai wadah individu dari berbagai spesifikasi keilmuan,
profesi dan golongan untuk melakukan kegiatan penyadaran dan penyelamatan
lingkungan.
Saat
ini dengan format eksekutif daerah, kepengurusan WALHI Jogjakarta periode
2005-2008 didukung oleh bidang kerja investigasi dan respon isue, data base,
kampanye dan penggalangan sumber daya, serta administrasi dan keuangan. WALHI
Jogjakarta bekerja melakukan advokasi lingkungan hidup terhadap kebijakan
pemerintah terkait tambang, energi, hutan, tata ruang, lingkungan perkotaan,
ketahanan pangan, agraria, sumber daya air dan pengelolaan bencana. Advokasi
ini disatu sisi sasarannya, adalah pembuat kebijakan, pemilik modal dan
kelompok-kelompok lain yang berpotensi merusak lingkungan hidup, serta
masyarakat luas disisi lain guna mendorong terbangun partisipasi dan daulat
publik dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan
Visi
Mendorong masyarakat sebagai subjek dalam
pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan sebagai
sumber-sumber kehidupan
Misi
Adanya Gerakan Sosial Lingkungan dari Seluruh
Komponen Masyarakat yang Aktif dan Memperjuangkan Hak-haknya dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam di Lingkungannya Secara Berkelanjutan Melalui Organisasi
Rakyat yang Independen
Goal Tahun 2008
Adanya gerakan sosial Lingkungan dari seluruh
komponen masyarakat yang aktif dan memperjuangkan hak-haknya dalam pengelolaan
sumber daya alam di lingkungannya secara berkelanjutan melalui organisasi
rakyat yang independen.
Goal Tahun 2010
1. WALHI menjadi Lembaga Publik yang
Transparan dan Akuntabel
2. WALHI menjadi Lembaga yang Mandiri
Dengan dukungan 33 lembaga partisipan yang
terdiri dari 23 lembaga swadaya masyarakat dan 10 kelompok pencinta alam, WALHI
Jogjakarta berkerja pada beberapa kawasan sebagai berikut :
Kawasan
Merapi
Gunung Merapi yang mempunyai ketinggian
3100 mdpl, sekaligus merupakan salah satu gunung berapi teraktif didunia.
Gunung Merapi hingga saat ini masih kental dengan keanekaragaman hayati, budaya
serta kearifan lokal masyarakatnya.
Advokasi WALHI Jogjakarta di kawasan ini
meliputi keseluruhan wilayah kawasan Merapi yang terletak Kabupaten
Sleman di Propinsi DI Jogjakarta dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan
Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta
salah satunya adalah penolakan penetapan kawasan Gunung Merapi menjadi Taman
Nasional melalui SK Menhut No. 134 tahun 2004. Walhi Jogjakarta Secara aktif
bersama dengan anggota melakukan aksi dan advokasi penolakan penetapan kawasan
Merapi sebagai Taman Nasional. Dalam pandangan WALHI dan masyarakat Merapi,
penetapan TNGM adalah wujud otoritarianisme pusat (Menteri Kehutanan) terhadap
masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah sekaligus sebuah pengingkaran atas
kearifan lokal masyarakat yang selama ini, secara turun-temurun telah
melestarikan hutan di kawasan gunung Merapi, sehingga tidak pilihan lain
terkecuali menolak penetapan TNGM tersebut
Selain penolakan TNGM, advokasi yang juga
dilakukan terkait mitigasi bencana erupsi Merapi dan penegakan hak-hak
pengungsi, penolakan Raperda pertambangan Kabupaten Magelang, penolakan
privatisasi air dan pembangunan DAM atas beberapa aliran sungai di kawasan
Merapi.
Kawasan
Menoreh
Pegunungan Menoreh merupakan kawasan
yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Purworejo Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kawasan Menoreh adalah daerah yang
membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup,
diantaranya adalah manusia. Sebagai kawasan karst, selain rentan terhadap
bencana longsor, wilayah ini juga merupakan wilayah penyangga benda cagar
budaya yang terletak disekitar kawasan Menoreh, salah satunya adalah Candi
Borobudur.
Advokasi yang dilakukan WALHI Jogjakarta di
kawasan ini adalah Penolakan Pertambangan marmer oleh PT. Margola di dusun
Selorejo Desa Ngargoretno, sekaligus penolakan Raperda pertambangan yang
rencananya akan menetapkan kawasan ini sebagai kawasan tambang di Kabupaten
Magelang. Penggusuran pemukiman penduduk ke wilayah rawan longsor,
monopoli dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup dari pertanian
menjadi buruh, pengangguran, hilangnya kawasan penyangga, merupakan alasan
mendasar bagi WALHI Jogjakarta untuk melakukan advokasi dikawasan ini. Secara
aktif WALHI Jogjakarta juga mendorong penegakan hak-hak masyarakat dan
peningkatan kesejahteraannya melalui pendidikan hukum kritis serta pendampingan
disektor peternakan, pertanian dan perkebunan.
Kawasan
Perkotaan
Kota sebagai pusat pemerintahan dengan
aktifitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan daerah dengan perubahan
ekologi yang sangat cepat. Permasalahan yang ada merupakan akibat dari
aktifitas masyarakat yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana pengelolaan
lingkungan kota yang berkelanjutan.
Permasalahan lingkungan hidup di
perkotaan Jogjakarta yang ada bermacam - macam, diantaranya masalah AMDAL, Tata
Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi. Advokasi yang aktif dilakukan WALHI di
kawasan ini adalah mendorong agar dokumen Amdal dan tata ruang dijadikan
sebagai dokumen perlindungan kawasan-kawasan kota, mendorong pemerintah dan
stake holder untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan kebersihan khususnya
sampah dari budaya mengumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA ke pengelolaan
sampah organik dan non organik. Advokasi juga dilakukan dalam
penanganan limbah cair dan penataan sistem transportasi.
Kawasan
Pesisir Selatan
Kawasan pantai selatan merupakan daerah
karst dan gumuk pasir yang tersebar di 3 kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa
Jogjakarta, meliputi Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten
Kulonprogo.
Advokasi di
kawasan ini aktif dilakukan Walhi Jogjakarta berkaitan dengan penolakan rencana
pembangunan Jalur Lintas Selatan, penolakan pengelolaan pasir biji besi, mitigasi
bencana gempa dan tsunami, serta pengembangan pariwisata berbasis masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar