27/08/11

SANG PRAJAKA-Perjalanan menuju tahta suci

Suatu saat Sang Prajaka memasuki sebuah kampung setelah perjalanan semalam suntuk dengan sampannya. Kampung iru sangat ramai meskipun berada di pedalaman. Tepat ketika fajar menyingsing, kaki kanan Sang Prajaka menapakkan kakinya ke darat. Tapak kaki yang tenang terdengar ritmis menembus keramaian pasar pagi di Sungai Kalam.
Baru sesaat kaki menempuh perjalanan, tampak wajah-wajah kusam dan mata kosong menerawang. Ada tangis sesenggukan dari balik pohon pisang yang rebah. Ada teriakan-teriakan liar tak jelas apa yang diucapkan. Diantara kerumunan yang paling rapat di pasar itu terdengar suara brak ... bruk...bruk...brak ...., begitu seterusnya. Sesekali tangan mengepal mencuat tinggi melampaui kepala-kepala yang tertunduk. Teriakan kasar bersahut-sahutan. Keoooook ....keook.., beberapa kaki terhentak kesal dan orang mulai meninggalkan kerumunan dengan menyisakan lima orang yang saling berhadapan sambil tertawa-tawa memegang lembaran-lembaran uang kertas terjurai. Salah satunya membopong ayam jago yang penuh luka.

Beberapa langkah dari orang-orang tersebut terlihat jelas ada satu ekor ayam terkapar menggelepar kadang berguling menahan sakit. Sang Prajaka tercenung, kaki melangkah pelan, membungkukkan badan sambil tangan terulur mengangkat makhluk hidup yang kesakitan tersebut. Pikirannya menerawang ke belakang seraya mendengar isak tangis dan tatapan-tatapon kosong yang tadi mengiringi langkah kakinya ke darat.

Sang Prajaka tinggal beberapa hari di kampung itu hingga suatu saat bertemu seorang gadis manis yang tampak tegar dengan mata tajam. Kepalanya sesekali menunduk atau menerawang jauh ke atas terus membuang nafasnya keras-keras. Dia menyatakan diri ingin mengikuti perjalanan Sang Prajaka dengan kesanggupan akan melakukan segala perintah dan menjauhi larangan dari Sang Prajaka. "Mengapa kamu ingin ikut denganku?" tanya Sang Prajaka. Gadis itu kemudian secara panjang lebar menjelaskan kondisi kampungnya yang serba tidak mengenakkan dari orang-orangnya yang sudah putus asa, bermabuk-mabukan, suka berjudi, para suami yang menelantarkan istri, ibu-ibu yang mengabaikan anaknya, anak-anak muda yang meninggalkan ajaran-ajaran suci hingga anak-anak kecil yang berani melawan orang tua dan saling serang antar mereka. Para kakek dan nenek sudah tidak peduli lagi dengan anak cucu mereka. "Saya sudah mengingatkan mereka tetapi mereka tidak pernah peduli dengan omongan saya", terang gadis itu lirih sambil kepala menunduk dan air matanya menitik. "Bahkan calon suami sayapun sudah meninggalkan lokasi ini karena marah dan iba yang menumpuk-numpuk melihat pemandangan ini setiap hari", lanjutnya ambil menyeka air mata.

Sang Prajaka tersenyum dan tangannya terulur menepuk bahu gadis itu. Gadis itu mengangkat muka dan terpana melihat senyuman yang sudah bertahun-tahun tak menghiasi orang kampung. "Kamulah orangnya, ya kamulah orangnya", gumam lirih Sang Prajaka. "Aku akan menemanimu beberapa hari disini, kemudian terserah kamu apakah tetap memilih akan ikut denganku atau tinggal terus disini", kata Sang Prajaka.

Setiap hari Sang Prajaka bersenda gurau dan saling bercerita dengan gadis itu sehingga sehari sudah serasa bertahun-tahun menjalani kebersamaan itu. Mereka berdua menebar do'a, senyum dan sapa kepada warga kampung setiap saat bertemu. Dibimbingnya para tetua untuk berdo'a dan melakukan amalan-amalan mulia bersandarkan kitab suci. yang bersemayam dalam hati. Dibimbinglah tangan-tangan kuat para pemuda untuk bercocok tanam aneka umbi, sayur dan memberikan makan pada hewan ternaknya semampu tenaga dan ketersediaan potensi kampung. Bermain-main dengan anak-anak kemudian saling bercerita tentang yang baru saja dialaminya dan mempersilahkan anak-anak tersebut menuangkan harapan dan berusaha mewujudkannya, menemui para ibu untuk sekedar bergurau sambil mengajarkan bagaimana memanfaatkan aneka tanaman untuk makan dan minum orang kampung, bersama-sama menggali ceruk untuk kolam mata air dan masih banyak lagi yang dilakukannya, hingga suatu saat yang sangat membahagiakan itupun tiba, yaitu musim panen raya.

Gadis manis itu sudah ceria kembali dan sering mengajak Sang Prajaka berkeliling kampung pada pagi dan sore hari sambil memperlihatkan potensi kampungnya yang mungkin dapat dikembangkan bagi kemakmuran orang kampung di masa mendatang. Perjalanan itu mengingatkan kondisi masa lalu akan tempat-tempat maksiat yang kini sudah menjadi rumah-rumah pencerah dimana setiap orang dapat belajar dan beribadah disitu. Senyum tulus dan do'a senantiasa menghiasi bibir warga kampung menyambut kedatangan mereka berdua.

Dalam suatu perjalanan malamnya, Sang Prajaka terhentak dari mimpinya yang indah dan sesegera itu bersuci serta melakukan sholat tasbih, bersyukur atas karunia yang dilimpahkanNYA hingga tetap sehat menjalani hari-harinya. Tatapan mata sendu dari nenek tua mengiringi sholatnya. Ada sesuatu yang dirasakan, tak tahu yang akan. Tak biasa juga, gadis itu datang di awal pagi setelah Subuh ke rumah tinggalnya sambil membawa umbi rebus berbalut daun pisang. Ada yang tak biasa di rumah itu.

Sang Prajaka keluar dari biliknya sambil membawa bungkusan pakaiannya sehari-hari. Suasana sendu melingkupi rumah itu. "Nenek, saya harus meninggalkanmu, rumah ini dan masyarakat kampung disini. Biarkan saya melanjutkan perjalanan melintasi berbagai penantian disana. Adik, suasana bahagia selama aku tinggal disini biarlah tetap menemani perjalanku dan janganlah kau ganti dengan kesedihan dan air mata sedihmu. Tak hendak aku melupakanmu, kenangan dan do'a kan kulantunkan untukmu, dan untuk saudara-saudaraku". Kemudian semua membisu dan gadis itu mengangkat sedikit mukanya memeluk Sang Prajaka sambil menangis. "Aku takkan dapat melupakan kakak, biarkan aku berdo'a bagi keselamatanmu hingga tujuan terakhirmu. Semoga Allah tetapkan mempertemukan kita nanti dan do'akan aku kuat serta teguh mendampingi para kekasihku yang sedang menjalankan tugas suci merawat tanah disini". Nenek itu masih ternganga akan yang terjadi. Diciumnya tangan tua itu sambil mohon diri dan minta do'a restu.

Sang Prajaka dengan tegap melangkahkan kakinya ke pintu. Kepalanya menoleh ke belakang tepat ketika berada di pintu. Gadis itu melangkah maju menjabat erat Sang Prajaka sambil berkata: "Aku akan selalu ingat akan kamu dan apa saja yang pernah kau ajarkan kepada kami, kamu lakukan bersama kami dan kamu tinggalkan di tanah ini. Aku tak akan lagi menyeru dengan ucapanku kepada wargaku yang tuli, takkan menunjukan gambar bisu kepada masyarakatku yang buta. Apa yang akan kau ingat tentangku?". "Aku hanya akan ingat satu hal saja, bahwa di tanah ini ada kamu yang rela menemani perjalananku", jawabnya sambil tersenyum sambil melepaskan jabatan tangannya dan mengusap kepala gadis itu. Senyum keceriaan membayang di wajah gadis itu. "Ada hal penting yang kamu lupa", sentak gadis itu. "Hah, apa itu", ujarnya terbelalak. "Mana tanganmu", lanjut gadis itu sambil menarik tangan kanan Sang Prajaka sambil meletakkan bungkusan daun pisang berisi umbi rebus yang masih hangat. Ha.....ha.....ha.... tawa hangat menyeruak dari mulut mereka. "Ini juga yang membuat aku selalu ingat kamu", kata Sang Prajaka. "Wuah, dasar kakak-kakak, itu saja yang diketahui. Nanti boleh kesini hanya kalau sudah tahu isi hatiku yang lain, ya!" ujarnya sambil tersenyum manja. Sang Prajaka hanya tersenyum manis sambil menyembunyikan kearifannya.

"Assalamu'alaikum", Sang Prajaka melangkahkan kakinya dengan mantap. "Wa'alaikumusalam warahmatullah wabarakatuh", jawaban bersama dari nenek tua dan gadis itu mengiringi langkah kakinya.

Semua senyap dan tenang kembali hingga langkah-langkah kaki para petani kampung dan dentang genta sapi melintasi jalan di awal pagi. Di ufuk timur bersinar matahari menrangi bumi dan menghamparkan berbagai harapan baru yang lebih baik di hari nanti.

2 komentar:

  1. ternyata pak bm penulis cerpen juga,
    :D

    BalasHapus
  2. Cerita sufi masa kini. Inspiratif. Terimakasih mas/pak/mbah ?!

    BalasHapus