Bambu
merupakan tanaman yang memang layak menjadi komoditas unggulan Kabupaten
Sleman. Hal ini ditunjukkan dengan hasil observasi langsung dan wawancara
semiterstruktur pada berbagai kelompok tani dan kelompok konservasi di 4
kawasan kabupaten. Masyarakat menyatakan bahwa komoditas bambu sudah ada sejak
lama, biasa dimanfaatkan dan populasinya tersebar merata di kampung-kampung.
Hasil perhitungan dengan menggunakan LQ juga menunjukkan bahwa dari sisi jumlah
populasi serta hasil produksi ternyata komoditas bambu memiliki nilai LQ paling
tinggi dibanding hasil hutan yang lain. Namun demikian masyarakat juga
menyatakan bahwa populasi bambu di kampung masing-masing telah mulai berkurang
drastis sejak listrik masuk desa dan didirikannya rumah-rumah permanen.
Masyarakat
mulai meninggalkan bambu apus yang banyak tumbuh di kampung mereka karena
penerapan teknologi pengawetan tradisional dianggap merepotkan serta yang ahli
membuat atap bambu dengan cara ‘meragum’ juga banyak yang sudah meninggal.
Menurunnya semangat gotong royong dalam pendirian rumah kampung/ “sambatan
ngunggahke empyak’ telah menjadikan keengganan masyarakat untuk memanfaatkan
batang bambu sebagai atap. Padahal dengan atap bambu sebenarnya masyarakat
merasakan kesejukan yang stabil atau ketika cuaca sangat panas atau sangat
dingin diluar tetapi hawa dibawah atap bambu tetap hangat/sejuk.
Bambu
merupakan komoditas yang sangat populer bagi masyarakat Kab. Sleman. Dari sekitar 1.250 jenis bambu di dunia, 140 jenis atau 11% nya adalah
spesies asli Indonesia. Orang Indonesia dengan kearifan lokalnya sudah lama
memanfaatkan bambu untuk kandang ternak, penguat tepi kolam, bangunan rumah,
perabotan, alat pertanian, kerajinan, alat musik, kentongan, makanan, alat
kesehatan maupun sebagai pupuk hayati. Populasi bambu tertinggi di Kab. Sleman
berada di Kecamatan Pakem, Prambanan dan Gamping yang masing-masing hingga
ratusan ribu rumpun.
Bambu merupakan sumberdaya
terbarukan yg umur 3-5 tahun sudah dapat mulai dipanen batangnya atau lebih
cepat menghasilkan dibandingkan dengan
tanaman keras lain yang 20-50 tahun baru dapat dipanen. Dengan produksi
biomassa bambu yang sangat cepat, diperkirakan mencapai 20-30 ton per hektar
pet tahun menjadikan bambu ini layak dijadikan pilihan bagi pengembangan
komoditas kehutanan.
Beberapa jenis bambu bahkan memiliki keunggulan atau manfaat
spesifik dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding komoditas bambu pada
umumnya. Jenis-jenis tersebut antara lain bambu kuning, bambu gading, bambu cendani,
bambu cina dan bambu kepel. Ketika bambu akan ditetapkan sebagai komoditas
unggulan Kab. Sleman, menjadi sangat penting adanya data dasar tentang
keberadaan rumpun-rumpun bambu tersebut sesuai jenis dan volumenya. Juga
istilah rumpun secara kuantitatif perlu juga diberi batasan dengan satuan
maksimal jumlah batang dalam rumpun demi memudahkan proyeksi produksi bambu
yang biasanya dalam satuan batang.
Pada sisi lain, pengembangan jenis-jenis tertentu pada
tanaman bambu dengan lokasi yang spesifik akan memudahkan dalam pengembangan
industri kreatif berbasis bambu atau pengembangannya menjadi kawasan
‘bambupolitan’. Adanya arboretum bambu di Sleman dapat menjadi pusat
pengembangan plasma nutfah bambu yang sekaligus mendukung gagasan ‘Jogja Seed
Center’, yang dari tempat tersebut dihasilkan aneka bibit bambu yang khusus
atau langka untuk dikembangkan oleh kelompok tani, kelompok konservasi maupun
dunia industri pengolahan bambu.
Tanaman bambu dapat dimanfaatkan baik secara keseluruhan
habitusnya atau per bagian-bagiannya seperti akar, tunas/rebung, batang,
‘anthok’/ selubung batang, rantingnya maupun daun-daunnya. Masing-masing jenis
dan bagian tanaman tersebut memiliki nilai jual yang berbeda sehingga model
pemanfaatan akan mempengaruhi perkembangan tanaman bambu, kesejahteraan
masyarakat dan akhirnya PDRB Kabupaten.
Bambu sebagai investasi yang aman dan menguntungkan.
Permintaan akan bambu saat ini meningkat terus seiring
peningkatan jumlah penduduk dunia dan sulitnya pemenuhan kebutuhan dunia akan
kayu. Jadi, dari sisi ekonomi menunjukkan bahwa kepastian pasar sudah jelas dan
permintaan pasar sangat tinggi sehingga sangat mendukung pengembangan investasi
di bambu.
Bambu sebagai penyelamat lingkungan.
Bambu mampu menyerap emisi CO2 sebesar 35% lebihnbaik dari
tumbuhan lain, serta mampu menghasilkan O2 35% lebih baik dari tumbuhan
lain.Sistem perakaran serabut pada bambu mampu mencegah erosi, tanah longsor,
menangkap 90% air hujan yang mengenai rumpun. Rumpun bambu dapat mencegah
polusi suara, daun-daunnya yang dapat untuk pakan ternak dan menyuburkan tanah.
Batangnya yang dekoratif dan multi
fungsi merupakan hal-hal yang menjadi unggulan tanaman ini. Batangnya yang kuat dan lentur serta ditunjang akar
bambu yang kokoh akan memudahkan beradaptasi dalam segal cuaca. Kombinasi
batang yang tinggi, daun lebat, peranakan cepat juga membuat rumpun bambu
sebagai katropi pendingin dalam situasi pemanasan global. Arang bambu bermanfaat sebagai karbon aktif untuk berbagai keperluan,
termasuk penjernihan air serta pengikat racun dalam tanah.
Bambu sebagai komoditas pangan dan kesehatan.
Rebung mempunyai kandungan kalium
cukup tinggi. Kadar kalium per 100 gram rebung adalah 533 mg. Makanan yang
sarat kalium, yaitu minimal 400 mg, dapat mengurangi risiko stroke. Rebung juga kaya akan serat dimana
kandungannya mencapai 2,56%, lebih tinggi dibandingkan kecambah kedelai (1,27 persen), pecai (1,58 persen), ketimun (0,61 persen),
dan sawi (1,01 persen). Hasil penelitian akhiir-akhir ini menyimpulkan bahwa
kurangnya konsumsi serat dapat menyebabkan timbulnya penyakit ala masyarakat
Barat, seperti aterosklorosis (penyumbatan pembuluh darah), jantung koroner,
diabetes melitus (kencing manis), hiperkolesterolemia (kelebihan kolesterol),
hipertensi, hiperlipidemia (kelebihan lemak), dan kanker kolon (usus besar).
Cuka bambu juga biasa dipergunakan sebagai bahan kosmetik dan kesehatan kulit.
Ekstrak daunnya juga biasa digunakan sebagai obat herbal untuk detoks. Secara
tak langsung di Indonesia sendiri yang sedang menuju organik, bambu merupakan
bahan alami potensial pengganti pupuk kimia KCl ataupun KNO3 sehingga hasil pangan
organik akan semakin menyehatkan dengan dipupuk kompos bambu daripada bertahan
pada pupuk kimiawi sintetik.
Bambu sebagai komoditas untuk perumahan dan aneka
konstruksi bangunan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kekuatan tensil/ kekuatan tarik bambu hingga 28.000 per inci, lebih kuat
dari baja, lebih kuat dari baja yang hanya 23.000 inci. Hal ini menjadikan
bambu sangat cocok untuk berbagai konstruksi bangunan rumah tahan gempa maupun
sebagai tulang beton alami dalam konstruksi jembatan. Sulitnya memenuhi
kebutuhan kayu dunia dan banyaknya polusi akibat pertambangan menjadikan
konstruksi dari bambu menjadi komoditas populer yang kebutuhannya meningkat di
seluruh bagian dunia. Kesulitan memenuhi kebutuhan kayu pejal di kawasan Asia
bahkan dunia, kini sudah dapat diusahakan dengan penggunaan balok laminasi dari
pengeleman bambu.
Bambu sebagai komoditas energi terbarukan
Menipisnya cadangan energi dari fosil menjadikan
meningkatnya kebutuhan energi terbarukan. Jagung, tebu, ubikayu yang kandungan
gula, pati dan selulosanya selama ini dijagokan sebagai sumber energi
terbarukan masa depan, akhirnya disadari potensial dampaknya yang akan
mengguuncang pangan dunia. Bambu yang batang dan daunnya memiliki kandungan
selulosa lebih tinggi serta rebungnya yang banyak mengandung pati dan gula
akhirnya menjadi pilihan alternatif untuk energi terbarukan. Selain diolah
secara tradisional menjadi arang pengganti kayu bakar, teknologi terkini telah
mampu memproses bambu menjadi biofuel maupun biogas.
Kalau diamati, hampir semua kampung di Kab. Sleman memiliki
tanaman bambu. Kebutuhan bambu yang tinggi untuk kepentingan ekonomis dan
ekologis telah menjadikan masyarakat dengan rela hati melestarikannya, selain
juga karena mudahnya tumbuh dan berkembang serta harganya yang bagus pada
jenis-jenis tertentu seperti bambu wulung, petung, apus dan tutul. Begitu besarnya manfaat bambu dan tingginya populasi bambu di banyak
kecamatan menjadikan bambu memang layak menjadi komoditas unggulan kehutanan
Kab. Sleman.
Bambu sebagai komoditas strategis pembangunan
nasional.
Pilihan bambu sebagai komoditas
strategis hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Sleman juga selaras dengan
kebijakan 3 menteri untuk menjadikan komoditas bambu sebagai unggulan nasional
yang akan dikelola dari hulu sampai hilir. Karena nilai pentingnya bagi konservasi
dan pengembangan industri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan bahkan telah
mendeklarasikan komitmen untuk mengembangkan industri bambu nasional, di
Jakarta, Selasa. 23 Oktober 2012 yang dalam amar deklarasinya menyebutkan bahwa
...” Kami
bertekad untuk menggali manfaat bambu menjadi komoditi unggulan yang memiliki
nilai ekonomi tinggi," tulis deklarasi berjudul "Bersama
Mengembangkan Industri Bambu Nasional dalam Rangka Meningkatkan Ekonomi
Kerakyatan Berkelanjutan". Dalam deklarasi itu, masing-masing kementerian
akan mengkoordinasikan berbagai kebijakan terkait pengembangan industri bambu,
terutama penyelarasan sisi hulu dan hilir.
Di sisi hulu, Kementerian Kehutanan akan berperan untuk menyediakan bahan baku dan konservasi bambu. Di sisi hilir, Kementerian Perindustrian bertugas mendorong industri yang mengolah bahan baku tersebut untuk tumbuh, sementara Bappenas berfungsi sebagai koordinator yang menyusun rencana terpadu.
Di sisi hulu, Kementerian Kehutanan akan berperan untuk menyediakan bahan baku dan konservasi bambu. Di sisi hilir, Kementerian Perindustrian bertugas mendorong industri yang mengolah bahan baku tersebut untuk tumbuh, sementara Bappenas berfungsi sebagai koordinator yang menyusun rencana terpadu.
Dengan
demikian secara pasti bambu Indonesia akan merambat menguasahi pangsa pasar
dunia dimana Kabupaten Sleman dan DIY menjadi salah satu penyangganya serta
tentu saja tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.
Bambu
dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jaman
dahulu, ketika Sri Sultan Hamengkubuwana I membangun kota Yogyakarta dengan
inti kampung-kampung yang mengelilingi kraton yang ditinggali oleh bregada atau
para prajurit, maka beliau menyediakan kapling masing-masing seluas 1000-1500
m2 dimana komoditas bambu menjadi salah satu tanaman yang wajib ditanam selain
jenis buah-buahan ataupun tanaman yang lain. Bambu diharapkan menjadi bahan
baku aneka kebutuhan yang ada sepanjang musim, tanpa komponen impor serta tetap
eksis ketika krisis ekonomi melanda. Namun kini permintaan yang sangat tinggi
dengan pasokan yang sangat terbatas telah memaksa para perajin bambu
memanfaatkan bambu yang belum siap dipanen batangnya.
Tantangannya, bambu yang mudah
tumbuh dan berkembang tanpa terlalu banyak perawatan atau pemberian saprotan
tersebut belum menjadi prioritas pengembangan dan masih dilihat oleh sebagian
besar masyarakat sebagai "bahan milik kaum miskin yang cepat rusak", meskipun kini banyak rumah
makan atau tempat peristirahatan sudah menjadikan bambu sebagai bahan bangunan
utama yang sangat menarik. Rumah bambu di Yogyakarta saat ini barangkali lebih banyak dikenal sebagai
model hunian sementara bagi pengungsi sehingga memang belum dipersiapkan untuk
bangunan yang tahan puluhan tahun. Padahal prospek bahan bambu yang sudah
diawetkan secara tradisional saja mampu bertahan lebih dari 30 tahun. Bangunan
bambu masih bagus tetapi pakunya sudah berkarat.
Menyempitnya penguasaan lahan
petani serta berkembangnya industri perumahan dan perluasan kawasan perkotaan
menjadikan bambu ini semakin dibutuhkan tetapi sekaligus menyempit ruang
tumbuhnya. Bahkan ada kawasan ekowisata yang selama ini terkenal dengan
burungnya yang bertengger di atas batang bambu menjadi kurang menarik lagi
akibat penebangan bambu besar-besaran di kawasan tersebut untuk perumahan.
Sementara itu usaha budidaya bambu masih jarang dilakukan oleh masyarakat,
selama ini masih sekedar hasil hutan ikutan, sert masih lemahnya komitmen pemerintah
untuk menjadikan bambu sebagai penopang hidup jutaan masyarakat.
Bambu dengan pangan lokal dan biofarmaka
Sejak berabad-abad keberadaan
bambu di kampung-kampung telah menjadi penyangga kehidupan masyarakat baik
untuk pangan, pakan maupun bangunan. Selain menciptakan kesejukan karena
habitusnya yang rindang, rumpun bambu telah menjadi habitat mikro berbagai
jenis burung seperti burung srikatan, burung hantu, burung pipit gantung dll..
Tumpukan daun bambu yang rontok telah menjadi pendukung tumbuh dan
berkembangnya aneka tanaman umbi-umbian bawah tegakan seperti garut, ganyong,
suweg dll. Berbagai jenis tanaman biofarmaka jenis empon-empon juga tumbuh
dengan baik di bawah rumpun bambu.
Dari hasil penelitian komoditas unggulan telah
menunjukkan bahwa bambu layak menjadi komoditas unggulan hasil hutan bukan
kayu. Optimasi pengembangan komoditas bambu menjadi peluang tersendiri bagi
pengembangan pangan lokal dan tanaman biofarmaka bawah tegakan rumpun bambu
tersebut.
Selama ini pengelolaan tanaman
pangan jenis umbi-umbian dan biofarmaka merupakan bagian dari subsektor tanaman
pangan dan hortikultura. Mengacu model pengembangan pertanian berbasis kawasan,
kiranya menjadi penting pengembangan kedua kelompok tanaman pangan yang tumbuh
dibawah tegakan bambu tersebut menjadi urusan yang menyatu dengan subsektor
kehutanan untuk menghasilkan model pengelolaan kehutanan tipe agroforestry atau
wana tani. Model wanatani dalam pengembangan umbi-umbian dan empon-empon bawah
tegakan bambu diharapkan akan mampu
mengerem laju penebangan aneka pepohonan demi menekan laju pemanasan global
berbasis pengelolaan kawasan hutan terpadu/ wanatani.
Membangun sinergi multi pihak untuk pengembangan bambu
Mengembangkan jenis bambu secara
lestari sangat potensial mengangkat kesejahteraan kaum miskin dan petani
sekaligus memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang mencintai keindahan alami. Di
Indonesia yang banyak gempa ini, bambu merupakan pilihan bahan bangunan yang
banyak disarankan oleh para ahli kegempaan. Akan lebih baik bilamana
pengembangan bambu tersebut dilakukan bekerjasama dengan investor yang
bertanggungjawab atau mendukung ecoinvestment.
Dinas Pertanian-Kehutanan dan
Peternakan Kab. Sleman telah mendorong pengembangan bambu sebagai salah satu
unggulan tanaman hasil hutan bukan kayu, BKSDA telah mendorong tumbuhnya
Kekompok Konservasi Alam basis bambu, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai
sudah intensif mengembangkan bambu di kawasan DAS, para aktivis LSM sudah lama
bergerak mengkampanyekan bambu sekaligus pendidikan tentang bambu, beberapa
pengusaha bahkan sudah mulai mengekspor bambu awetan dan aneka produk hasil
olahan bambu tersebut serta mengkampanyekan bambu sebagai potensial ecoinvestment di Indonesia. Bahkan dari
hitungan investasi pada penanaman bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan
biaya investasi paket 1 bibit/rumpun yang dihargai Rp. 250.000,- akan
berkembang menjadi panenan sebanyak 35 batang selama setahun yang bila dihitung
dengan harga konstan Rp. 40.000,- /batang akan setara Rp. 40.000,- x 35 = Rp.
1.400.000,- atau keuntungan kotornya sekitar Rp.1.150.000,-/10 tahun, atau
tingkat pengembalian investasi kotornya sebesar (JML PENDAPATAN / NILAI
INVESRASI) x 100% atau sekitar 520%. Sedangkan tingkat pengembalian nettonya
(Pendapatan – investasi dibagi %ase nilai investasi, kemudian dikalikan 100%)
sebesar 460%. Dibandinglan suku bunga bank yang per sepuluh tahun dengan
tingkat pengembalian nettonya hanya 200%, maka tingkat pengembalian netto
investasi pada bambu masih lebih tinggi 100%. Padahal kecenderungan harga bambu
betung adalah naik tiap tahun sehingga sebenarnya potensial perolehannya adalah
jauh lebih tinggi dari perhitungan harga konstan. Jadi, menanam bambu merupakan
investasi hijau berkelanjutan. Apalagi kalau sudah mulai diolah, tentunya hasil
olahannya akan jauh lebih tinggi nilainya.
Menurut M.S. Sembiring,
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, sudah saatnya dunia usaha berpartisipasi
dalam pelestarian keanekaragaman hayati melalui investasi yang bertanggung
jawab. “Responsible investment ini
harus dapat mengedukasi pasar untuk lebih cermat dalam memilih jenis investasi.
Sebab investor juga turut bertanggung jawab apabila investasinya ditanamkan di
bidang usaha yang tidak berkomitmen pada pelestarian lingkungan dan tidak
mendukung good governance.”
Jadi, pilihan bambu sebagai komoditas unggulan
hasil hutan bukan kayu di Kab. Sleman selain didukung oleh tingginya populasi
bambu di Sleman juga kesiapan para pihak dalam pengembangan bambu tersebut.
Namun kiranya masih perlu dibangun komitmen bersama untuk bersinergi dalam
pengembangan konservasi dan industri bambu rakyat secara berkelanjutan.
Kiranya upaya pendataan secara sistematis tentang lokasi jenis-jenis bambu berada dan besaran populasinya masih sangat dibutuhkan, sekaligus mengawali persiapan pengembangan bambu secara besar-besaran di Kab. Sleman baik penanaman maupun pengolahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar