16/11/12

BAMBU si KOMODITAS UNGGULAN


Bambu merupakan tanaman yang memang layak menjadi komoditas unggulan Kabupaten Sleman. Hal ini ditunjukkan dengan hasil observasi langsung dan wawancara semiterstruktur pada berbagai kelompok tani dan kelompok konservasi di 4 kawasan kabupaten. Masyarakat menyatakan bahwa komoditas bambu sudah ada sejak lama, biasa dimanfaatkan dan populasinya tersebar merata di kampung-kampung. Hasil perhitungan dengan menggunakan LQ juga menunjukkan bahwa dari sisi jumlah populasi serta hasil produksi ternyata komoditas bambu memiliki nilai LQ paling tinggi dibanding hasil hutan yang lain. Namun demikian masyarakat juga menyatakan bahwa populasi bambu di kampung masing-masing telah mulai berkurang drastis sejak listrik masuk desa dan didirikannya rumah-rumah permanen.

Masyarakat mulai meninggalkan bambu apus yang banyak tumbuh di kampung mereka karena penerapan teknologi pengawetan tradisional dianggap merepotkan serta yang ahli membuat atap bambu dengan cara ‘meragum’ juga banyak yang sudah meninggal. Menurunnya semangat gotong royong dalam pendirian rumah kampung/ “sambatan ngunggahke empyak’ telah menjadikan keengganan masyarakat untuk memanfaatkan batang bambu sebagai atap. Padahal dengan atap bambu sebenarnya masyarakat merasakan kesejukan yang stabil atau ketika cuaca sangat panas atau sangat dingin diluar tetapi hawa dibawah atap bambu tetap hangat/sejuk.

Bambu merupakan komoditas yang sangat populer bagi masyarakat Kab. Sleman. Dari sekitar 1.250 jenis bambu di dunia, 140 jenis atau 11% nya adalah spesies asli Indonesia. Orang Indonesia dengan kearifan lokalnya sudah lama memanfaatkan bambu untuk kandang ternak, penguat tepi kolam, bangunan rumah, perabotan, alat pertanian, kerajinan, alat musik, kentongan, makanan, alat kesehatan maupun sebagai pupuk hayati. Populasi bambu tertinggi di Kab. Sleman berada di Kecamatan Pakem, Prambanan dan Gamping yang masing-masing hingga ratusan ribu rumpun.

Bambu merupakan sumberdaya terbarukan yg umur 3-5 tahun sudah dapat mulai dipanen batangnya atau lebih cepat menghasilkan  dibandingkan dengan tanaman keras lain yang 20-50 tahun baru dapat dipanen. Dengan produksi biomassa bambu yang sangat cepat, diperkirakan mencapai 20-30 ton per hektar pet tahun menjadikan bambu ini layak dijadikan pilihan bagi pengembangan komoditas kehutanan.

Beberapa jenis bambu bahkan memiliki keunggulan atau manfaat spesifik dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding komoditas bambu pada umumnya. Jenis-jenis tersebut antara lain bambu kuning, bambu gading, bambu cendani, bambu cina dan bambu kepel. Ketika bambu akan ditetapkan sebagai komoditas unggulan Kab. Sleman, menjadi sangat penting adanya data dasar tentang keberadaan rumpun-rumpun bambu tersebut sesuai jenis dan volumenya. Juga istilah rumpun secara kuantitatif perlu juga diberi batasan dengan satuan maksimal jumlah batang dalam rumpun demi memudahkan proyeksi produksi bambu yang biasanya dalam satuan batang.

Pada sisi lain, pengembangan jenis-jenis tertentu pada tanaman bambu dengan lokasi yang spesifik akan memudahkan dalam pengembangan industri kreatif berbasis bambu atau pengembangannya menjadi kawasan ‘bambupolitan’. Adanya arboretum bambu di Sleman dapat menjadi pusat pengembangan plasma nutfah bambu yang sekaligus mendukung gagasan ‘Jogja Seed Center’, yang dari tempat tersebut dihasilkan aneka bibit bambu yang khusus atau langka untuk dikembangkan oleh kelompok tani, kelompok konservasi maupun dunia industri pengolahan bambu.
Tanaman bambu dapat dimanfaatkan baik secara keseluruhan habitusnya atau per bagian-bagiannya seperti akar, tunas/rebung, batang, ‘anthok’/ selubung batang, rantingnya maupun daun-daunnya. Masing-masing jenis dan bagian tanaman tersebut memiliki nilai jual yang berbeda sehingga model pemanfaatan akan mempengaruhi perkembangan tanaman bambu, kesejahteraan masyarakat dan akhirnya PDRB Kabupaten.

Bambu sebagai investasi yang aman dan menguntungkan.
Permintaan akan bambu saat ini meningkat terus seiring peningkatan jumlah penduduk dunia dan sulitnya pemenuhan kebutuhan dunia akan kayu. Jadi, dari sisi ekonomi menunjukkan bahwa kepastian pasar sudah jelas dan permintaan pasar sangat tinggi sehingga sangat mendukung pengembangan investasi di bambu.

Bambu sebagai penyelamat lingkungan. 
Bambu mampu menyerap emisi CO2 sebesar 35% lebihnbaik dari tumbuhan lain, serta mampu menghasilkan O2 35% lebih baik dari tumbuhan lain.Sistem perakaran serabut pada bambu mampu mencegah erosi, tanah longsor, menangkap 90% air hujan yang mengenai rumpun. Rumpun bambu dapat mencegah polusi suara, daun-daunnya yang dapat untuk pakan ternak dan menyuburkan tanah. Batangnya yang dekoratif dan  multi fungsi merupakan hal-hal yang menjadi unggulan tanaman ini. Batangnya yang kuat dan lentur serta ditunjang akar bambu yang kokoh akan memudahkan beradaptasi dalam segal cuaca. Kombinasi batang yang tinggi, daun lebat, peranakan cepat juga membuat rumpun bambu sebagai katropi pendingin dalam situasi pemanasan global. Arang bambu bermanfaat sebagai karbon aktif untuk berbagai keperluan, termasuk penjernihan air serta pengikat racun dalam tanah.

Bambu sebagai komoditas pangan dan kesehatan.
Rebung mempunyai kandungan kalium cukup tinggi. Kadar kalium per 100 gram rebung adalah 533 mg. Makanan yang sarat kalium, yaitu minimal 400 mg, dapat mengurangi risiko stroke. Rebung juga kaya akan serat dimana kandungannya mencapai 2,56%, lebih tinggi dibandingkan kecambah kedelai (1,27 persen), pecai (1,58 persen), ketimun (0,61 persen), dan sawi (1,01 persen). Hasil penelitian akhiir-akhir ini menyimpulkan bahwa kurangnya konsumsi serat dapat menyebabkan timbulnya penyakit ala masyarakat Barat, seperti aterosklorosis (penyumbatan pembuluh darah), jantung koroner, diabetes melitus (kencing manis), hiperkolesterolemia (kelebihan kolesterol), hipertensi, hiperlipidemia (kelebihan lemak), dan kanker kolon (usus besar). Cuka bambu juga biasa dipergunakan sebagai bahan kosmetik dan kesehatan kulit. Ekstrak daunnya juga biasa digunakan sebagai obat herbal untuk detoks. Secara tak langsung di Indonesia sendiri yang sedang menuju organik, bambu merupakan bahan alami potensial pengganti pupuk kimia KCl ataupun KNO3 sehingga hasil pangan organik akan semakin menyehatkan dengan dipupuk kompos bambu daripada bertahan pada pupuk kimiawi sintetik.

Bambu sebagai komoditas untuk perumahan dan aneka konstruksi bangunan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan tensil/ kekuatan tarik bambu hingga 28.000 per inci, lebih kuat dari baja, lebih kuat dari baja yang hanya 23.000 inci. Hal ini menjadikan bambu sangat cocok untuk berbagai konstruksi bangunan rumah tahan gempa maupun sebagai tulang beton alami dalam konstruksi jembatan. Sulitnya memenuhi kebutuhan kayu dunia dan banyaknya polusi akibat pertambangan menjadikan konstruksi dari bambu menjadi komoditas populer yang kebutuhannya meningkat di seluruh bagian dunia. Kesulitan memenuhi kebutuhan kayu pejal di kawasan Asia bahkan dunia, kini sudah dapat diusahakan dengan penggunaan balok laminasi dari pengeleman bambu.

Bambu sebagai komoditas energi terbarukan
Menipisnya cadangan energi dari fosil menjadikan meningkatnya kebutuhan energi terbarukan. Jagung, tebu, ubikayu yang kandungan gula, pati dan selulosanya selama ini dijagokan sebagai sumber energi terbarukan masa depan, akhirnya disadari potensial dampaknya yang akan mengguuncang pangan dunia. Bambu yang batang dan daunnya memiliki kandungan selulosa lebih tinggi serta rebungnya yang banyak mengandung pati dan gula akhirnya menjadi pilihan alternatif untuk energi terbarukan. Selain diolah secara tradisional menjadi arang pengganti kayu bakar, teknologi terkini telah mampu memproses bambu menjadi biofuel maupun biogas.
Kalau diamati, hampir semua kampung di Kab. Sleman memiliki tanaman bambu. Kebutuhan bambu yang tinggi untuk kepentingan ekonomis dan ekologis telah menjadikan masyarakat dengan rela hati melestarikannya, selain juga karena mudahnya tumbuh dan berkembang serta harganya yang bagus pada jenis-jenis tertentu seperti bambu wulung, petung, apus dan tutul. Begitu besarnya manfaat bambu dan tingginya populasi bambu di banyak kecamatan menjadikan bambu memang layak menjadi komoditas unggulan kehutanan Kab. Sleman.

Bambu sebagai komoditas strategis pembangunan nasional.
Pilihan bambu sebagai komoditas strategis hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Sleman juga selaras dengan kebijakan 3 menteri untuk menjadikan komoditas bambu sebagai unggulan nasional yang akan dikelola dari hulu sampai hilir. Karena nilai pentingnya bagi konservasi dan pengembangan industri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan bahkan telah mendeklarasikan komitmen untuk mengembangkan industri bambu nasional, di Jakarta, Selasa. 23 Oktober 2012 yang dalam amar deklarasinya menyebutkan bahwa ...” Kami bertekad untuk menggali manfaat bambu menjadi komoditi unggulan yang memiliki nilai ekonomi tinggi," tulis deklarasi berjudul "Bersama Mengembangkan Industri Bambu Nasional dalam Rangka Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan Berkelanjutan". Dalam deklarasi itu, masing-masing kementerian akan mengkoordinasikan berbagai kebijakan terkait pengembangan industri bambu, terutama penyelarasan sisi hulu dan hilir.

Di sisi hulu, Kementerian Kehutanan akan berperan untuk menyediakan bahan baku dan konservasi bambu. Di sisi hilir, Kementerian Perindustrian bertugas mendorong industri yang mengolah bahan baku tersebut untuk tumbuh, sementara Bappenas berfungsi sebagai koordinator yang menyusun rencana terpadu.
Dengan demikian secara pasti bambu Indonesia akan merambat menguasahi pangsa pasar dunia dimana Kabupaten Sleman dan DIY menjadi salah satu penyangganya serta tentu saja tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.

Bambu dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jaman dahulu, ketika Sri Sultan Hamengkubuwana I membangun kota Yogyakarta dengan inti kampung-kampung yang mengelilingi kraton yang ditinggali oleh bregada atau para prajurit, maka beliau menyediakan kapling masing-masing seluas 1000-1500 m2 dimana komoditas bambu menjadi salah satu tanaman yang wajib ditanam selain jenis buah-buahan ataupun tanaman yang lain. Bambu diharapkan menjadi bahan baku aneka kebutuhan yang ada sepanjang musim, tanpa komponen impor serta tetap eksis ketika krisis ekonomi melanda. Namun kini permintaan yang sangat tinggi dengan pasokan yang sangat terbatas telah memaksa para perajin bambu memanfaatkan bambu yang belum siap dipanen batangnya.

Tantangannya, bambu yang mudah tumbuh dan berkembang tanpa terlalu banyak perawatan atau pemberian saprotan tersebut belum menjadi prioritas pengembangan dan masih dilihat oleh sebagian besar masyarakat sebagai "bahan milik kaum miskin yang cepat rusak", meskipun kini banyak rumah makan atau tempat peristirahatan sudah menjadikan bambu sebagai bahan bangunan utama yang sangat menarik. Rumah bambu di Yogyakarta saat ini barangkali lebih banyak dikenal sebagai model hunian sementara bagi pengungsi sehingga memang belum dipersiapkan untuk bangunan yang tahan puluhan tahun. Padahal prospek bahan bambu yang sudah diawetkan secara tradisional saja mampu bertahan lebih dari 30 tahun. Bangunan bambu masih bagus tetapi pakunya sudah berkarat.

Menyempitnya penguasaan lahan petani serta berkembangnya industri perumahan dan perluasan kawasan perkotaan menjadikan bambu ini semakin dibutuhkan tetapi sekaligus menyempit ruang tumbuhnya. Bahkan ada kawasan ekowisata yang selama ini terkenal dengan burungnya yang bertengger di atas batang bambu menjadi kurang menarik lagi akibat penebangan bambu besar-besaran di kawasan tersebut untuk perumahan. Sementara itu usaha budidaya bambu masih jarang dilakukan oleh masyarakat, selama ini masih sekedar hasil hutan ikutan, sert masih lemahnya komitmen pemerintah untuk menjadikan bambu sebagai penopang hidup jutaan masyarakat.

Bambu dengan pangan lokal dan biofarmaka
Sejak berabad-abad keberadaan bambu di kampung-kampung telah menjadi penyangga kehidupan masyarakat baik untuk pangan, pakan maupun bangunan. Selain menciptakan kesejukan karena habitusnya yang rindang, rumpun bambu telah menjadi habitat mikro berbagai jenis burung seperti burung srikatan, burung hantu, burung pipit gantung dll.. Tumpukan daun bambu yang rontok telah menjadi pendukung tumbuh dan berkembangnya aneka tanaman umbi-umbian bawah tegakan seperti garut, ganyong, suweg dll. Berbagai jenis tanaman biofarmaka jenis empon-empon juga tumbuh dengan baik di bawah rumpun bambu.
Dari  hasil penelitian komoditas unggulan telah menunjukkan bahwa bambu layak menjadi komoditas unggulan hasil hutan bukan kayu. Optimasi pengembangan komoditas bambu menjadi peluang tersendiri bagi pengembangan pangan lokal dan tanaman biofarmaka bawah tegakan rumpun bambu tersebut.
Selama ini pengelolaan tanaman pangan jenis umbi-umbian dan biofarmaka merupakan bagian dari subsektor tanaman pangan dan hortikultura. Mengacu model pengembangan pertanian berbasis kawasan, kiranya menjadi penting pengembangan kedua kelompok tanaman pangan yang tumbuh dibawah tegakan bambu tersebut menjadi urusan yang menyatu dengan subsektor kehutanan untuk menghasilkan model pengelolaan kehutanan tipe agroforestry atau wana tani. Model wanatani dalam pengembangan umbi-umbian dan empon-empon bawah tegakan  bambu diharapkan akan mampu mengerem laju penebangan aneka pepohonan demi menekan laju pemanasan global berbasis pengelolaan kawasan hutan terpadu/ wanatani.

Membangun sinergi multi pihak untuk pengembangan bambu 
Mengembangkan jenis bambu secara lestari sangat potensial mengangkat kesejahteraan kaum miskin dan petani sekaligus memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang mencintai keindahan alami. Di Indonesia yang banyak gempa ini, bambu merupakan pilihan bahan bangunan yang banyak disarankan oleh para ahli kegempaan. Akan lebih baik bilamana pengembangan bambu tersebut dilakukan bekerjasama dengan investor yang bertanggungjawab atau mendukung ecoinvestment.
Dinas Pertanian-Kehutanan dan Peternakan Kab. Sleman telah mendorong pengembangan bambu sebagai salah satu unggulan tanaman hasil hutan bukan kayu, BKSDA telah mendorong tumbuhnya Kekompok Konservasi Alam basis bambu, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai sudah intensif mengembangkan bambu di kawasan DAS, para aktivis LSM sudah lama bergerak mengkampanyekan bambu sekaligus pendidikan tentang bambu, beberapa pengusaha bahkan sudah mulai mengekspor bambu awetan dan aneka produk hasil olahan bambu tersebut serta mengkampanyekan bambu sebagai potensial ecoinvestment di Indonesia. Bahkan dari hitungan investasi pada penanaman bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan biaya investasi paket 1 bibit/rumpun yang dihargai Rp. 250.000,- akan berkembang menjadi panenan sebanyak 35 batang selama setahun yang bila dihitung dengan harga konstan Rp. 40.000,- /batang akan setara Rp. 40.000,- x 35 = Rp. 1.400.000,- atau keuntungan kotornya sekitar Rp.1.150.000,-/10 tahun, atau tingkat pengembalian investasi kotornya sebesar (JML PENDAPATAN / NILAI INVESRASI) x 100% atau sekitar 520%. Sedangkan tingkat pengembalian nettonya (Pendapatan – investasi dibagi %ase nilai investasi, kemudian dikalikan 100%) sebesar 460%. Dibandinglan suku bunga bank yang per sepuluh tahun dengan tingkat pengembalian nettonya hanya 200%, maka tingkat pengembalian netto investasi pada bambu masih lebih tinggi 100%. Padahal kecenderungan harga bambu betung adalah naik tiap tahun sehingga sebenarnya potensial perolehannya adalah jauh lebih tinggi dari perhitungan harga konstan. Jadi, menanam bambu merupakan investasi hijau berkelanjutan. Apalagi kalau sudah mulai diolah, tentunya hasil olahannya akan jauh lebih tinggi nilainya.

Menurut M.S. Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, sudah saatnya dunia usaha berpartisipasi dalam pelestarian keanekaragaman hayati melalui investasi yang bertanggung jawab. “Responsible investment ini harus dapat mengedukasi pasar untuk lebih cermat dalam memilih jenis investasi. Sebab investor juga turut bertanggung jawab apabila investasinya ditanamkan di bidang usaha yang tidak berkomitmen pada pelestarian lingkungan dan tidak mendukung good governance.”

Jadi, pilihan bambu sebagai komoditas unggulan hasil hutan bukan kayu di Kab. Sleman selain didukung oleh tingginya populasi bambu di Sleman juga kesiapan para pihak dalam pengembangan bambu tersebut. Namun kiranya masih perlu dibangun komitmen bersama untuk bersinergi dalam pengembangan konservasi dan industri bambu rakyat secara berkelanjutan.

Kiranya upaya pendataan secara sistematis tentang lokasi jenis-jenis bambu berada dan besaran populasinya masih sangat dibutuhkan, sekaligus mengawali persiapan pengembangan bambu secara besar-besaran di Kab. Sleman baik penanaman maupun pengolahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar