INDAHNYA
KEBERSAMAAN
INDAHNYA SALING MEMBANTU
Dan ketika semua lampu masjid itu padam, keheningan pun menyeruak teriring lantunan do'a dan harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Ceritera-ceritera dan tamsil yang mengemuka serta dibawakan dengan canda yang santun-pun menggugah kesadaran kami, mengisi kerinduan atas hadirnya rasa syukur yang dalam, senyuman yang terhias, lemah lembut dalam sikap, serta Kasih Sayang yang mendasari semua tindakan
Tadi malam kami sekeluarga menghadiri forum pengajian refleksi dan pembekalan keimanan di PP. QOLBUN SALIM, sebuah pondok pesantren yang terletak di lereng utara Bukit Boko Prambanan. Perjalanan kami tempuh selama 45 menit, menelusuri hiruk pikuk Jalan Solo dari ring road barat menuju Prambanan, tepatnya adalah menuju gerbang perbatasan Jogja-Jawa Tengah setelah dari bangjo Candi Prambanan belok kanan sedikit terus kekiri menembus ramainya Pasar Prambanan hingga pertigaan gerbang perbatasan. Kami kemudian membelokkan kemudi mobil yang kami kendarai ke kanan terus menyusuri jalan aspal kampung, melintasi rel kereta api lurus kea rah pondok.
Kurang
lebih 1 km perjalanan dari perbatasan, kami melewati jalan dimana kiri kanannya
adalah persawahan tanpa ada lampu penerangan sedikitpun. “Wuah kayak lewat gua”,
demikian anak-anak bergumam. Memang dari perjalanan yang selalu diterangi lampu
sejak dari rumah hingga lokasi persawahan tersebut telah membius kami dengan
keseharian yang penuh kesibukan. Begitu sampai di jalan persawahan ini memang
terasa sangat berbeda, seakan sebuah persiapan untuk perenungan yang mendalam.
Banyak juga motor dan mobil yang seiring dengan kendaraan kami, menuju tempat
yang satu-PP. QOLBUN SALIM. Dari tempat ini sudah tampak remang Bukit Boko menghadang
di depan kami.
Sedikit
menanjak menyusuri kaki bukit, sampailah kami di pondok dimana lapangan parkir yang
sangat luas dengan motor dan mobil teratur rapi menyambut kedatangan kami. Ya, memang
biasanya ada ribuan orang hadir untuk mengikuti acara pengajian di PP. Qolbun
Salim. Semua orang dapat masuk ditampung dalam bangunan masjid yang memanjang
dimana tempat bersuci/ wudhu tersebar mengelilingi bangunan masjid.
Biasanya
acara dimulai dengan sholat isyak berjamaah, dan sebelumnya diisi dengan
berbagai pengumuman terkait kegiatan pondok dan pemberitahuan tentang adanya
permintaan do’a kepada beberapa orang yang namanya disebut, biasanya do’a mohon
kesembuhan dari sakit atau permohonan ampunan bagi orang yang sudah meninggal.
Begitu
sholat selesai, lampu masjid semua dimatikan dan dilanjutkan dengan dzikir
bersama dipimpin oleh Abah Sony, pemimpin PP. Qolbun Salim. Sehabis dzikir
diteruskan dengan pengajian dan do’a dengan cara biasa diseling berbagai do’a
yang dilagukan serta do’a-do’a dalam Bahasa Indonesia yang diseling Bahasa
Arab. Berbagai cerita dan tamsil serta guyonan sederhana terasa sangan mengena
dan menggugah kesadaran. Sering kami dengar beberapa orang yang sesenggukan,
menangis di tengah do’a yang terlantun.
Salah
satu isi do’a yang terlantun waktu itu adalah mohon diberi rasa syukur, sikap
lemah lembut dan penuh kasih sayang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan dan
contoh-contoh kasus dimana kadang kita
lupa bersyukur dan beribadah karena berlimpah harta, terlalu sayang anak,
kehilangan harta benda, sakit dll., padahal semua kehilangan itu hanya sedikit
saja dari kenikmatan2 yang sangat banyak dariNYA. Karena merasa masih sangat banyak
kenikmatan yang tersisa itu pula, maka nabi Ayub a.s. tidak bersedia memohon
kesembuhan atas segala sakit yang dideritanya. Kita juga disadarkan bahwa dasar
semua tindakan Allah adalah Kasih Sayang, Allah sangat mencintai kita dan
ibadah adalah bentuk sambutan umatNYA atas kasih sayang tersebut. Kita juga
disadarkan bahwa Allah Itu Maha Pengampun sehingga kesalahan dan kekhilafan
kita pasti diampuni kalau kita memohon kepadaNYA. Hingga akhir pengajian, tak
satupun kami dengar ancaman-ancaman neraka jahanam. Allah Maha Pengampun, Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Acara
ditutup dengan ditandai menyalanya lampu-lampu masjid dan jamaah laki-laki yang
berjalan menuju ke mimbar untuk menyalami Abah Sony. Wajah-wajah cerah dan
teduh tampak sangat mengemuka di bawah bayang cahaya lampu masjid.
Satu
hal yang bagi kami terasa sangat khas adalah adaya pengumuman sebelum sholat
agar jamaah nanti pulangnya melalui pintu depan karena ada pembagian wafer bagi
semua jama’ah. Kami belum jelas siapa yang sedang berbagi syukur melalui
pembagian wafer tersebut. Sudah banyak orang/ pengusaha yang merasa bisnisnya
dapat tegak kembali setelah bangkrut karena singgah di PP. QOLBUN SALIM,
mengikuti pengajian rutin malam Jum’at, ikut manakiban, banyak bersedekah dll,
hingga akhirnya bisnisnya berkembang lebih baik.
Selesai
acara pengajian, kami heran karena jamaah tidak langsung keluar lewat pintu
depan melainkan berbondong-bondong menuju area pondok sebelah bawah. Ternyata
disana sudah menunggu hidangan yang sudah ditata pada piring-piring bagi yang
mau dimakan sendiri, juga banyak yang ditata dalam nampan bagi yang ingin
dimakan bersama secara ‘kembulan’ atau makan bersama dimana nasi dijadikan satu
tumpuk di bagian tengah, dikelilingi lauk yang dijadikan satu, sayur yang juga dijadikan
satu, serta beberapa gelas air teh manis.
Di sekeliling area makan sudah tersedia tempat-tempat cuci tangan yang
dilengkapi sabun cair.
Kami
berempat (saya dan 3 anak lelaki saya) mengambil satu nampan untuk kami makan
bersama di hamparan lantai keramik yang ditinggikan, tanpa atap, berhias cahaya
ala kadarnya, sambil menunggu kedatangan ibunya anak-anak yang sibuk mencari keberadaan kami.
Porsi makan 1-2 orang tersebut kami santap dengan nikmat. Si bungsu (klas 3 SD) dan anak saya nomor dua (klas 1 SMA) kadang saling menggoda dimana satu tumpuk kecil nasi+lauk+sayur yang sudah dikumpulkan dan siap disantap oleh si bungsu sambil menunggu nasi di mulut habis, akhirnya diambil kakaknya duluan. Si bungsupun akhirnya membalas juga. Semua menyenangkan sehingga sebelum selesai makan, si bungsu sudah usul mau ikut pengajian lagi. Ketika kami tanya mengapa, ternyata cara makan ‘kembulan’ itu yang sangat mengesankan baginya. Selesai makan, kami kemudian membantu panitia mengumpulkan piring, nampan dan gelas yang berserakan. Senyum dan ucapan terimakasih yang tulus dari salah seorang santri/ panitia di situ tampak menambah semangat anak-anak dalam membantu. Sebuah pelajaran sederhana diluar pengajian formal yang kami ikuti, indahnya kebersamaan dan indahnya saling membantu.
Porsi makan 1-2 orang tersebut kami santap dengan nikmat. Si bungsu (klas 3 SD) dan anak saya nomor dua (klas 1 SMA) kadang saling menggoda dimana satu tumpuk kecil nasi+lauk+sayur yang sudah dikumpulkan dan siap disantap oleh si bungsu sambil menunggu nasi di mulut habis, akhirnya diambil kakaknya duluan. Si bungsupun akhirnya membalas juga. Semua menyenangkan sehingga sebelum selesai makan, si bungsu sudah usul mau ikut pengajian lagi. Ketika kami tanya mengapa, ternyata cara makan ‘kembulan’ itu yang sangat mengesankan baginya. Selesai makan, kami kemudian membantu panitia mengumpulkan piring, nampan dan gelas yang berserakan. Senyum dan ucapan terimakasih yang tulus dari salah seorang santri/ panitia di situ tampak menambah semangat anak-anak dalam membantu. Sebuah pelajaran sederhana diluar pengajian formal yang kami ikuti, indahnya kebersamaan dan indahnya saling membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar