14/03/12

JATUH BANGUN DALAM MEMBUAT PERUBAHAN (baca: RUMAH)

Apa yang kita rasakan, kita lihat, kita perbuat sepertinya tak pernah berdiri sendiri. Kegelisahan kita adalah juga kegelisahan orang lain, begitu pula sebaliknya. Namun demikian dapat berlaku juga kegembiraan kita dan ketenangan kita itu menjadi kegelisahan orang lain.



Pernah suatu ketika, keluarga kami terus asyik membangun rumah/ tempat tinggal kami yang sebenarnya bukan milik kami. Ternyata pembantu di rumah tangga kami gelisah karenanya atau paling tidak menyayangkan apa yang kami lakukan. Dia berfikir dan tak habis mengerti tentang mengapa membangun rumah yang bukan rumahnya sendiri padahal kami belum punya rumah sama sekali. Mengapa kami justru memprioritaskan membangun rumah yang menurut kacamata dia adalah "rumah orang lain".

Pembantu rumah kami sebenarnya sangat menyayangi kami sekeluarga dan sangat berharap agar kami segera dapat memiliki rumah sendiri sebagaimana para tetangga kami juga nggak habis mengerti kenapa kami berbuat demikian. Di dalam benak kami (saya paling tidak) merasa sangat terbantu dengan adanya rumah tersebut karena menjadikan kami dapat tinggal dan belajar mandiri sejak kami menikah. Rumah tua seluas hampir 400 m2 itu memang bukan rumah kami tetapi kami merasa "ikut memiliki" rumah tersebut sehingga bagi kami membangun rumah tersebut juga kami rasakan sebagaimana membangun rumah sendiri. Barangkali itu yang sulit/ tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Tetapi sangat benar adanya bahwa faktanya bukanlah rumah kami karena secara formal memang bukan milik kami. Hingga suatu saat kami sekeluarga pindah karena memang sudah memiliki rumah sendiri tanpa pembantu kami merasakan langsung dalam mendampingi kami sekeluarga di rumah baru. Beliau sangat bersyukur dan gembira karena keluarga kami akhirnya memiliki rumah sendiri. Sampai saat ini masih misteri bagi saya tentang "bagaimana kok saya akhirnya dapat membangun rumah sendiri!"

Perlu diketahui, bahwa hasil kerja kami waktu itu tak pernah cukup kami sisihkan untuk memulai membuat rumah meskipun ada penghasilan rutin. Untuk kebutuhan sehari-hari saja selalu pas-pasan. Kami tak habis pikir ketika ingat teman-teman sekolah dasar kami yang hanya sekolah sampai lulus SD, kerjanya sebagai buruh yang kadang dapat pekerjaan kadang tidak, itupun kalau mereka dapat bekerja sebulan penuh tetap tak lebih dari penghasilan bulanan kami tetapi mereka mampu memiliki rumah sendiri yang kokoh/ permanen. Pertanyaan yang selalu muncul adalah "bagaimana cara mereka mengelola keuangan rumah tangganya hingga mereka dapat menyisihkan uang untuk membangun rumah ?!"

Ketika kutanyakan kepada para tetangga yang sudah membangun rumah sendiri tentang rahasia dapat membangun rumah sendiri, jawabannya ternyata sangat bervariatif. Mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing, antara lain:

  • Kami makan hanya sederhana saja, yang penting dapat menabung setiap minggunya,
  • Pokoknya untuk makan kami dari hasil mburuh sawah, kalau bapaknya dapat mburuh berarti itu sebagai tabungan,
  • Kami menabung sejak lama untuk dapat kami belikan cempe (anak kambing) atau pedet (anak sapi) untuk kami pelihara dan baru kami jual ketika kami akan membangun rumah. Pokoknya sehari-hari kami prihatin dulu.
  • Pokoknya setiap keluarga kami merasa ada penghasilan lebih, maka langsung saya titip beli di warung material untuk kami ambil sewaktu-waktu ketika kami butuhkan,
  • Terpaksa saya jual tanah untuk rumah dan motor kami,
  • Kami nyicil dalam mewujudkan rumah kami. Setiap ada uang longgar langsung saya belikan material untuk kemudian kami kerjakan di rumah hingga suatu saat tinggal masang. Malam haripun kami "bribik-bribik"/mencicil pekerjaan pembuatan rumah,
  • dll.
Hingga suatu saat ada kesepakatan di rumah tangga kami untuk mencoba menyisihkan uang dari anggaran konsumsi untuk membeli batu calon fondasi. Kamipun memilih batun yang murah saja, yaitu bati cadas putih. Hampir semua orang mempertanyakan mengapa batu putih itu yang untuk fondasi. Selalu saja saya kemukakan alasan tentang murahnya dan di daerah asal batu tersebut memang untuk fondasi rumah. Tak mengapa, itulah yang kami mampu beli waktu itu.

Hari berganti hari, batu calon fondasi tersebut tak pernah bertambah. Bahkan berkurang karena seringkali dalam pembuatan sarana publik di kampung kami dan ada pula tetangga yang akhirnya butuh batu untuk meneruskan pekerjaan bangunannya tetapi sangat 'tanggung' volumenya. Batu putih calon fondasi rumah kamipun diminta atau kami sumbangkan untuk dipakai saja sehingga akhirnya habis. Tak mengapa toh ini untuk kebaikan yang mana kami meyakini bahwa Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Benar pula akhirnya kami mampu membeli batu hitam untuk calon fondasi rumah dari hasil pekerjaan memburuh kami. Hanya tinggal membeli pasir dan semen untuk membuat fondasi.

Ketika batu, pasir dan semen sudah siap ternyata kami tidak dapat serta merta membuat fondasi tersebut karena butuh tenaga upahan dan pengadaan makanan selama mereka bekerja. Banyak orang yang mempertanyakan mengapa kami tak segera membuat fondasi padahal semua material sudah siap. Biasanya saya jawab masih butuh modal dulu untuk upah tenaga kerja dan lainnya, itu yang kami belum siap. Hingga suatu saat para orang tua kami mendorong untuk segera memiliki rumah sendiri, apapun kondisinya karena anak-anak sudah semakin besar yang nantinya pasti butuh uang juga untuk pendidikannya. Kalau rumah dapat diwujudkan di muka, maka pemasukan kami nanti tinggal untuk pendidikan anak-anak saja. Semua orang sulit menerima alasan kami yang menyatakan belum punya uang untuk memulai pembangunan rumah karena hampir setiap hari kami menerima tamu dan dapat menyajikan makanan kepada mereka. Apalagi saya pernah ke luar negeri sehingga mereka bilang tak mungkin kami tak punya uang. He...he...he... penampilan dan latar belakang sangat mempengaruhi penilaian orang ternyata.....

Kang Karno-salah satu tetangga dekat kami yang kebetulan trampil sebagai 'tukang batu',  menawarkan diri untuk mengerjakannya tanpa upah dan makan harian. Upah tak perlu diberikan dimuka, dia bilang untuk "diberikan nanti-nanti saja kalau saya memang sudah punya uang longgar meskipun pekerjaan sudah selesai". Kami merasa sulit untuk menerima tawaran darinya karena kami beranggapan seharusnya kami yang membantu dia serta bukannya sebaliknya bilamana melihat penghasilan kami sehari-hari. Kami juga bingung mengapa dia menawarkan seperti itu dalam kondisi penghasilan yang tak pasti di keluarganya. Dia bilang: "rejeki itu di tangan Yang Kuasa, asal kita bergerak kan nanti pasti dapat makan, nggak harus berasal dari yang langsung kita kerjakan". Pernyataan itu memotivasi kami untuk segera melangkah memenuhi tawarannya.

Prinsip kami adalah berusaha selalu untuk tidak menyulitkan orang lain, sedapat mungkin bahkan membantu. Dalam benak kami waktu itu ketika menerima tawarannya adalah "kami akan berusaha memenuhi kewajiban kami, termasuk memberi makan harian dan membayarnya tiap sabtu sambil terus mengupayakan adanya pemasukan tambahan demi kelancaran pembuatan fondasi tersebut". Hal tersebut seakan-akan menguji kami akan keyakinan 'datangnya rejeki dari Allah itu dapat secara tidak terduga-duga'.

Karena perhitungan kesiapan material, kami memutuskan untuk membuat fondasi rumah tipe 21 dengan fondasi kamar-kamarnya sekalian. Pekerjaan itupun mulai dapat jalan. Di tengah proses pembangunan fondasi, saya ditawari pekerjaan singkat di luar pulau. Suatu kejadian tak terduga yang membawa rejeki ternyata memang ada. Saya terima tawaran itu seraya berpesan agar pekerjaan diteruskan saja dalam membuat fondasi tipe 21 tersebut tanpa berpesan sama sekali kepada istri.

Perlu diingat bahwa Kang Karno adalah tetangga yang sudah sangat dekat hubungannya dengan keluarga kami karena mertuanya sudah dipercaya mengerjakan lahan sawah kakek saya sejak saya masih kecil. Bahkan ketika kecilpun saya diasuh oleh beliau juga. Kami merasa sudah satu keluarga sejak lama.

Ketika kami sedang 'mburuh' di luar Jawa, tentu saja tak dapat memantau pekerjaan pembangunan di Jawa karena sarana komunikasi yang masih sangat terbatas waktu itu. Ternyata uang yang saya terima dari pekerjaan itu 'sangat besar' di luar perkiraan sehingga saya membayangkan akan dapat untuk meneruskan pengadaan batu bata dan lain-lain selain untuk biaya tukang. Ternyata begitu sampai rumah, saya terkejut karena yang ada hanya petak fondasi yang sangat luas (sekitar 100 m2) tanpa ada fondasi kamar dari tipe 21 yang kami rencanakan. Ketika Kang Karno kutanyai, dia menjelaskan sambil sedikit tertawa dan nyemoni (menyindir) saya : "Keluarga anda itu keluarga besar, dimana mereka harus tidur ketika berkunjung kesini. Tamu keluarga ini juga sangat banyak bahkan hampir tiap hari, mau diterima dimana ketika mereka nanti datang. Semua orang itu membawa rejekinya masing-masing, yang penting diusahakan pasti bisa. Kakek anda itu keluarga bertulang kuat, banyak amalnya banyak rejekinya. Anda juga bertulang kuat, kalau mau mengusahakan pasti bisa. Jadi, membuat rumah itu juga harus memikirkan keluarga kita maupun orang lain. Saya yakin kalau membuat rumah sebesar ini pasti ringan untuk anda, ..... dst. Sudahlah yang penting anda cari saja rejeki itu biar saya yang menjadikan rumah ini." Saya nggak bisa membantah karena memang realitasnya kami membutuhkan itu. Proses pembangunan rumahpun diteruskan dengan mengikuti gagasan "Pak Tukang Progresif" tersebut setelah saya belikan beberapa material yang dibutuhkan untuk menambah fondasi dan menaikkan batu batanya saja.

Ketika proses membangun sedang berjalan, ada lagi tawaran pekerjaan yang masuk agar saya mburuh di Pulau Kalimantan. Pekerjaan itupun saya lakoni. Banyaknya rumah panggung disana menginspirasi saya untuk membuat rumah bertingkat. Pengalaman mendapatkan rejeki tak terduga telah membawa saya pada keyakinan akan kemampuan untuk mewujudkan hal tersebut karena toh bangunan yang di atas tersebut saya rencanakan untuk sarana publik (ruang pertemuan, red.) juga sehingga rejekinya pasti lancar. Betul akhirnya tawaran mburuh datang terus hingga akhirnya bangunan dua tingkat tanpa plester semen dan atap itu berdiri. Barangkali karena 'kecanduan membangun rumah besar' saya terlalu memaksakan diri saya ikut bekerja membangun rumah hingga akhirnya 'pinggang/ punggung/ tulang punggung bermasalah karena sakit ketika digerakkan--keseleo/ salah urat mungkin". Pembangunanpun terhenti hingga beberapa bulan/tahun tanpa kejelasan kapan dapat diteruskan lagi.

Saya menjadi nggak dapat pergi kemana-mana hingga suatu saat meskipun dalam keadaan sakit, saya harus mburuh ke kantor Dinas Pekerjaan Umum untuk menjadi salah satu narasumber dalam sebuah pelatihan. Dari salah seorang peserta  yang hadir dan sejak awal saya merasa dekat dengannya, saya ditegur kenapa kok seakan menahan sakit. Saya hanya menjawabnya singkat: "nggak apa-apa kok, paling salah urat". Diapun tersenyum dan berkata; " makanya besok lagi kalau kerja jangan memaksakan diri, mbangun rumah itu harus bertahap dan jangan terus meninggalkan urusan yang lain yang bisa jadi lebih penting, ya begitu hasilnya kalau dipaksakan, sayapun pernah mengalami itu sehingga kalau istri emosi minta rumah dipasangi keramik ya hanya saya belikan satu lembar saja sambil saya jelaskan ini untuk awalan, demikian juga kalau dia meminta yang lain kalau kita belum mampu ya belikan saja bagian kecil dari yang dia inginkan". Saya tersentak mendengar penjelasannya yang seakan tahu permasalahanku. Akhirnya saya sadar bahwa saya telah ngongso/ memaksakan diri.

Kami bingung akan mulai dari mana lagi untuk meneruskan rumah ini karena uang yang ada tak cukup untuk memberi atap tetapi kalau hanya disimpan kami takut tak akan membuat rumah itu jadi terbangun. Hingga suatu saat dalam perenungan kami terlintas gagasan untuk membuat mushola kecil saja sebagai tempat sembahyang sekaligus tempat istirahat ketika sedang membangun. Gagasan itu menyegarkan tubuh kami yang saat itu terasa sakit-sakit keletihan. Kamipun berpacu dengan mewujudkan gagasan tersebut. Banyak orang yang heran juga tentang ide kami tersebut. Mereka berfikir "kenapa tidak untuk membeli kayu untuk atap saja  meskipun tanpa genteng". Semua itu kami abaikan karena kami yakin bahwa membuat mushola tersebut adalah priotitas. Biarlah rumah tanpa genteng tetapi sudah ada mushola.

Ternyata kemudian pembangunan berjalan terus seiring dengan banyaknya rejeki tak terduga-duga dari tawaran mburuh kepada saya hingga akhirnya semua bangunan siap kecuali daun pintu dan jendela. Ketika itu ada permintaan dari salah satu lembaga mitra kami yang akan menugaskan masyarakatnya melakukan kunjungan belajar ke Jogja. Kami putuskan menerimanya di rumah baru kami yang belum jadi ini tetapi cukup siap kalau sekedar untuk tempat istirahat demi menghemat biaya belajar kawan-kawan tersebut (tidur beralas tikar). Sementara itu saya mburuh di luar Jawa.

Setelah kunjungan belajar berakhir, tiba-tiba muncul ide dari istri saya untuk sesekali tidur di rumah yang masih tanpa pintu jendela permanen tersebut bersama dengan anak-anak kami. Nah.... setelah anak terkecil kami tidur disitu ternyata dia merasa itulah rumahnya dan ingin terus tinggal di rumah baru tersebut meskipun tanpa lantai, pintu ataupun jendela permanen. Hal inilah yang memacu kami segera melengkapi rumah tersebut dan menempatinya. Saya lupa bagaimana akhirnya dapat membeli jendela-jendela dan pintu-pintu tersebut.

Ternyata perubahan kadang sesuai rencana tetapi sangat sering dipengaruhi oleh faktor-faktor pemicu yang tak kita perhitungkan. Disitu peran kerjasama banyak pihak menjadi sangat menentukan. Kita hanya dapat mengarahkan dan mencari tindak lanjut yang terbaik dari berbagai faktor pemicu yang muncul tiba-tiba tersebut. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi kami, keluarga kami, tetangga kami dan siapa atau apapun itu. Insya Allah kita selalu dalam bimbingan dan petunjukNYA ketika mengarungi kehidupan menuju keselamatan hakiki yang dikehendakiNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar